Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Nasionalisme dari Sudut Laboratorium di ITB

  • Sabtu, 03 April 2021
  • 1347 kali

Peneliti lintas disiplin ilmu kini tengah menjalin kolaborasi dan memperluas kemampuan Laboratorium Kualitas Udara Institut Teknologi Bandung (ITB). Laboratorium ini menjadi satu-satunya lab pengujian masker medis yang sudah terakreditasi di negeri ini.

Di tengah pandemi Covid-19, laboratorium ini berperan penting menjaga kualitas masker yang beredar di pasaran. Sebelum pandemi, laboratorium ini lebih banyak fokus pada pengujian kualitas udara ambien dan emisi kendaraan bermotor.

Sepanjang Rabu (31/3/2021) siang, ruangan Laboratorium Mikrobiologi dan Teknologi Bioproses, Program Studi Teknik Kimia ITB, tampak sibuk oleh pengujian masker. Ruangan lab ini digunakan untuk menguji masker yang dilaksanakan oleh para peneliti lintas ilmu yang mendukung pengujian masker di bawah koordinasi Laboratorium Kualitas Udara.

Kesibukan menguji masker itu ditemukan di satu sudut dengan dua meja panjang lab, dan kotak Biological Safety Cabinet (BSC) yang sudah dilengkapi HEPA filter. Kotak itu menjadi bagian dari serangkaian alat pengujian masker. Dengan alat itu sejumlah masker dari perusahaan maupun lembaga pemerintah diuji secara bergantian.

“Beberapa alat (pengujian masker) kami rancang dan rakit sendiri,” kata Haryo Satrio Tomo, salah satu Peneliti ITB yang menggagas pengujian masker itu.

Para teknisi laboratorium, peneliti, dan asisten peneliti, bekerja memeriksa lembar demi lembar masker. Di sana mereka menumbuhkan bakteri Staphylococcus Aureus untuk pengujian, membuat alat untuk simulasi paru-paru manusia, dan juga membuat alat simulasi gerakan udara di atmosfer. Sementara, ratusan lembar masker dari berbagai perusahaan dan institusi dalam negeri tersimpan di kotak di meja menunggu giliran diuji.

“Beberapa alat (pengujian masker) ini kami rancang dan rakit sendiri,” kata Haryo Satrio Tomo, salah satu Peneliti ITB yang menggagas pengujian masker itu.

Haryo yang juga dosen dan peneliti di Pengelolaan Udara dan Limbah ITB itu mengisahkan, inisiasi uji masker medis itu dilakukan pada Maret akhir 2020, dipicu oleh beberapa produk masker Indonesia yang ditolak Eropa. Setelah ditelusuri, masalahnya terdapat pada belum adanya laboratorium di Indonesia yang mampu menguji standar masker medis.

Padahal, Indonesia sebenarnya mempunyai sumber daya untuk melakukannya. Para peneliti lintas keilmuan ITB pun bergerak bersama untuk membuat uji masker medis tersebut. Pengujian masker itu yang digawangi peneliti bidang pengelolaan udara dan limbah, serta peneliti bidang mikrobiologi dari Teknik Kimia yang berada di bawah Laboratorium Kualitas Udara ITB.

Penia Kresnowati, Peneliti ITB bidang Mikrobiologi yang juga menggawangi lab uji masker itu mengatakan, pada awal pandemi Maret 2020 itu, juga terjadi kelangkaan masker dan alat pelindung diri (APD). Padahal, sebetulnya Indonesia sebagai negara produsen garmen mempunyai potensi untuk memenuhi APD ini.

Namun saat itu produk APD Indonesia belum bisa masuk pasaran karena belum ada standar baku akibat belum adanya laboratorium uji masker medis di dalam negeri. Kekhwatiran pun muncul, dengan kondisi ini, Indonesia bisa-bisa dibanjiri APD dari luar negeri. Lebih buruknya lagi, jangan-jangan produk Indonesia dibawa ke luar negeri, lalu dilabeli, kemudian dilempar kembali ke pasar Indonesia dengan harga jauh lebih tinggi.

“Kami bersama dengan Badan Standarisasi Nasional menggalakkan program membangun lab-lab uji agar APD produk Indonesia ini bisa dipasarkan dan dipakai di Indonesia juga. Ini tujuannya mendorong kemandirian dan perekonomian Indonesia,” kata Penia.

Pada Maret 2021 ini, pengujian masker medis di Lab Kualitas Udara ITB memperoleh akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). “Kami mengajukan akreditasi untuk uji masker pada Oktober 2020 lalu,” kata Kepala Laboratorium Kualitas Udara, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Adyati Pradini Yudison.

Ada tiga parameter yang digunakan untuk pengujian masker medis di lab ini, yaitu uji efisiensi filtrasi bakteri (BFE), uji efisiensi filtrasi partikulat (PFE), dan beda tekan. Tiga parameter ini diperlukan untuk memperoleh sertifikat SNI dari Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk masker respirator atau masker yang kemampuannya setara dengan N95 dan KN95.

Jawab kebutuhan

Keberadaan uji masker medis di Laboratorium Kualitas Udara ITB itu menjawab kebutuhan untuk pengujian masker medis yang saat ini belum tersedia di tempat lain. Padahal di Jabodetabek, sebenarnya terdapat belasan laboratorium yang menyediakan layanan pengujian materi dan partikel yang serupa dijalankan oleh laboratorium ITB itu.

Awal Maret 2021, Tim Kompas sempat menghubungi setidaknya 12 laboratorium di seputar Jabodetabek, baik swasta, pemerintah maupun perguruan tinggi. Namun, tak satu pun yang menyediakan layanan terakreditasi pengujian masker respirator.

Sebelum Laboratorium Kualitas Udara ITB menyediakan layanan uji masker medis, pengujian masker hasil produksi dalam negeri harus dilakukan di laboratorium-laboratorium di luar negeri yang memakan waktu dan biaya.

Hal ini menyulitkan pengusaha lokal, peneliti hingga institusi berkepentingan yang butuh pengujian masker medis. Pengusaha sangat membutuhkan uji masker produksinya untuk memperoleh sertifikat. Sementara lembaga pemerintah butuh untuk mengetahui aman tidaknya masker yang didistribusikan dan digunakan di masyarakat.

Sebelum Laboratorium Kualitas Udara ITB menyediakan layanan uji masker medis, pengujian masker hasil produksi dalam negeri harus dilakukan di laboratorium-laboratorium di luar negeri yang memakan waktu dan biaya. Untuk pengujian di Nelson Laboratories di Amerika Serikat, misalnya, waktu pengujian untuk satu tipe masker bisa memakan waktu 3-6 bulan dengan biaya Rp 45-60 juta.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Nasir mengatakan, LIPI sebenarnya sudah mempunyai alat untuk menguji masker medis, namun baru bisa menguji dua parameter dan belum memiliki akreditasi. Ia pun mengaku, harus mengirim masker yang tengah ia teliti ke laboratorium di Taiwan dengan waktu tunggu sekitar dua bulan.

Sementara, pengujian di ITB menjanjikan waktu 20 hari kerja dengan biaya yang jauh lebih rendah dari pengujian di luar negeri. Seiring tumbuhnya industri masker dalam negeri, animo untuk menguji masker di Lab Kualitas Udara FTSL ITB pun terus meningkat. Dalam sehari, setidaknya satu perusahaan mengirim masker untuk diuji. Setiap perusahaan bisa mengirim 1-7 jenis masker.

Sejak pandemi, industri masker dalam negeri memang terus menggeliat. Menurut data Gabungan Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab), sebelum pandemi terbatas 23 produsen masker di dalam negeri, tetapi sekarang menjadi hampir 300 produsen. Adapun masker respirator setara masker N95 yang sebelumnya tidak ada, saat ini sudah ada dua produsen di dalam negeri.

Jaminan Keselamatan

Deputi Pengembangan Standar BSN, Nasrudin Irawan mengatakan, SNI masker medis memberikan acuan kepada produsen dalam memproduksi produknya, dan memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) itu bagi pengguna masker medis, yaitu tenaga kesehatan. Hasil uji laboratorium pada masker medis, itu digunakan untuk mengajukan SNI.

Kendati penting untuk keselamatan pengguna, tetapi hingga sekarang pemerintah belum membuat regulasi terkait SNI masker medis, dan SNI itu pun belum menjadi syarat wajib. Pengujian masker medis oleh produsen pun hingga saat ini baru bersifat sukarela.

Demi keamanan pengguna, penerapan standar SNI untuk masker medis harus didorong agar pemerintah mewajibkannya. “Contohnya helm, menjadi wajib (dilengkapi SNI) setelah Kemenperin (Kementerian Perindustrian) mewajibkan. Sehingga harus diakreditasi di lab pengujian terakreditasi,” kata Direktur Akreditasi Labolatorium KAN, Fajarina Budi Antari.

Indonesia telah melewati masa kekurangan masker. Namun, pasokan yang melimpah tanpa jaminan keamanan dan keselamatan akan menjadi sia-sia. Pandemi ini menyadarkan, selembar masker bisa menjadi pertaruhan antara hidup dan mati.

 

Tautan Berita: Nasionalisme dari Sudut Laboratorium di ITB