Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

BSN : SNI Uji Halal pada Pangan/Pakan, mendesak ditetapkan

  • Jumat, 26 Februari 2021
  • 4771 kali

 

 

 

BSN tengah memfasilitasi pemangku kepentingan merumuskan 6 Rancangan Standar Nasional Indonesia/RSNI yang dapat menjadi acuan dalam proses pengujian halal. 6 RSNI ini disusun oleh Komite Teknis 19-07 Metode Pengujian Biomolekuler dan Bioteknologi dan telah masuk dalam tahap jajak pendapat. Apa urgensinya 6 RSNI tersebut dirumuskan?

Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia Kesehatan dan Halal Badan Standardisasi Nasional (BSN), Wahyu Purbowasito di Jakarta pada Jumat (26/02/2021) menjelaskan, perumusan RSNI tersebut menyusul dengan telah terbitnya Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang mewajibkan bahwa semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali produk yang yang berasal dari bahan haram.

“Dalam UU tersebut, mengamanatkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai lembaga yang menerbitkan sertifikasi halal. Pemeriksaan proses produk halal dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang salah satu syarat pendiriannya adalah memiliki atau berkerjasama dengan laboratorium,” tambah Wahyu.

BSN sendiri, dalam konteks kerjasama internasional tentang produk halal, mewakili Indonesia menjadi anggota Standards and Metrology Institute for Islamic Countries (SMIIC) sejak tahun 2019, yaitu forum kerja sama negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) di bidang standardisasi dan metrologi.

Wahyu menjelaskan lebih lanjut, maka terkait laboratorium halal tersebut, saat ini beberapa laboratorium pemerintah, BUMN dan swasta memberikan layanan uji bidang biologi, baik laboratorium mikrobiologi maupun biologi molekuler. Uji deteksi deoxyribonucleic acid (DNA) porcine (babi) secara Polymerase Chain Reaction atau disingkat dengan PCR merupakan pendukung proses sertifikasi halal.

Namun demikian, saat ini uji metode tersebut sangat beragam dari gen target, primer, hingga kesepakatan nilai Cycle Threshold (CT). Perbedaan hal tersebut dapat menimbulkan kesalahan yang akan berdampak pada konsumen, industri yang akan menimbulkan kerugian ekonomi, sosial dan agama, serta pengambil keputusan kebijakan.

“Untuk itulah, dibutuhkan metode yang terstandar untuk meminimalisir false positive ataupun false negative yang dapat berdampak pada sertifikasi halal,” jelasnya.

Sebagai contoh, RSNI ISO/TS 20224-3:2020. Dokumen ini menetapkan metode real-time polymerase chain reaction (real-time PCR) untuk deteksi kualitatif DNA spesifik babi yang berasal dari pangan dan pakan. Hal ini membutuhkan ekstraksi DNA yang dapat diamplifikasi PCR dalam jumlah yang memadai dari matriks yang relevan dan dapat diterapkan untuk mendeteksi bahan babi/derivate dari babi (Sus scrofa domesticus) dan babi hutan (Sus scrofa).

“Amplifikasi adalah suatu proses yang dapat menggandakan atau mereplikasi suatu DNA yang semulanya sedikit sekali, bisa menjadi banyak atau berlipat ganda hingga ribuan bahkan jutaan kali. Uji PCR ini memiliki LOD 95% lebih dan telah divalidasi oleh ISO dengan pengujian di beberapa laboratorium di berbagai negara dan terbukti memiliki spesifitas, sensitivitas, robustness dan unsur lain yang memang layak untuk menjadi standar dalam pengujian,” terang Wahyu.

Dengan ditetapkannya SNI, terdapat acuan yang akurat untuk menentukan apakah terkandung babi pada pangan/pakan atau tidak.

RSNI  yang sedang dijajakpendapatkan ini yakni :

  1. RSNI ISO/TS 20224-3:2020 Analisis biomarker molekuler - Deteksi bahan turunan hewan pada bahan pangan dan bahan pakan menggunakan real - time PCR - Bagian 3: Metode deteksi DNA babi.
  2. RSNI ISO 16577:2016 Analisis biomarker molekuler — Istilah dan definisi (ISO 16577:2016, IDT, Eng)
  3. RSNI ISO 20813:2019 Analisis biomarker molekuler — Metode analisis untuk deteksi dan identifikasi spesies hewan pada pangan dan produk pangan (metode berbasis asam nukleat) — Persyaratan umum dan definisi.
  4. RSNI ISO 21571:2005 Bahan pangan — Metode analisis untuk deteksi organisme hasil rekayasa genetika dan produk turunannya — Ekstraksi asam nukleat.
  5. RSNI ISO 24276:2006 Bahan pangan — Metode analisis untuk deteksi organisme hasil rekayasa genetika dan produk turunannya — Persyaratan umum dan definisi; serta
  6. RSNI ISO 20395:2019 Bioteknologi — Persyaratan untuk evaluasi kinerja metode kuantifikasi untuk sekuens target asam nukleat — qPCR dan dPCR.

RSNI ini merupakan adopsi identik ISO. “Keenam RSNI ini adalah adopsi identik dengan standar internasional, yakni ISO yang dirumuskan melalui jalur fast track, yang artinya cukup mendesak untuk ditetapkan,” ungkap Wahyu.

Maka, sesuai Peraturan BSN Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengembangan SNI, perkiraan waktu perumusan SNI untuk keperluan mendesak adalah 4 bulan dengan waktu jajak pendapat selama 20 hari kalender. Oleh karenanya, dalam masa jajak pendapat, masyarakat bisa menyampaikan tanggapan terhadap 6 RSNI melalui sispk.bsn.go.id sampai dengan tanggal 6 Maret 2021.

Sementara itu, terkait dengan metode uji halal, selain 6 RSNI tersebut, BSN juga telah menetapkan SNI 8965:2021 Metode deteksi dan kuantifikasi etanol pada produk minuman.

SNI ini meliputi istilah dan definisi, prinsip deteksi, dan kuantifikasi etanol dalam produk minuman, metode uji, serta keberterimaan hasil perhitungan. Adapun, produk minuman yang dimaksud dalam standar ini adalah produk minuman beralkohol dan produk minuman (ringan) tidak beralkohol termasuk minuman yang mengandung susu.

Dengan prinsip simpler, faster, dan better, Wahyu berharap perumusan SNI ini dapat mendukung standardisasi dan penilaian kesesuaian lingkup halal dan penanganan Covid-19. (humas)