Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Genjot Komoditas Bernilai Tinggi

  • Minggu, 21 Februari 2021
  • 1457 kali

Kakao sebagai salah satu komoditas potensial memiliki beragam kualitas. Layaknya kopi dan teh, setiap kualitas memiliki keautentikan aroma, rasa, dan khasiatnya yang memengaruhi terhadap nilai ekonominya.

Berdasarkan ragamnya, komoditas kakao secara umum diklasifikasikan ke dalam tiga jenis yakni, criollo, forastero, dan trinitario. Ketiga jenis itu tentu saja memiliki kualitas dan nilai ekonomi yang berbeda.

Criollo menghasilkan biji kakao dengan mutu terbaik, forastero umumnya bermutu sedang atau biasa, dan trinitario sebapi hibrida alami dari criollo dan forastero yang kualitasnya sangat heterogen. Dengan perbedaan kualitas kakao tersebut, pengembangan dan pemanfaatannya pun di kalangan industri sangat beragam mulai dari bahan makanan dan minuman, hingga produk-produk kosmetik.

Secara genetis, kualitas kakao di Nusantara sebetulnya tidak kalah bersaing dengan biji kakao dari luar negeri, seperti Ghana dan Pantai Gading. Hanya saja permasalahannya terletak dalam proses pengolahannya.

Soetanto, Peneliti Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) dan Pembina Masyarakat Kakao Indonesia mengatakan kebanyakan biji kakao lokal . tidak diolah dan difermentasi dengan baik sehingga memengaruhi kualitasnya.

“Satu-satunya penghasil kakao yang bijinya dijual tanpa fermentasi hanya Indonesia. Padahal kualitasnya sangat baik. Tetapi karena pengolahannya kurang baik, hasilnya pun menjadi kurang menarik,”ungkapnya.

Secara umum, terdapat dua jenis kakao yaitu kakao mulia atau lebih dikenal dengan fine flavo-ur cocoa (FFC), dan kakao jenis lindak atau kakao biasa yang dikenal dengan istiah bulk cocoa. Memang, jumlah kakao mulia dengan kualitas terbaik mayoritas dihasilkan negara-negara Amerika Latin seperti Peru, Ekuador, dan Kolombia. Sebetulnya, Indonesia juga memiliki kakao jenis mulia tetapi jumlahnya masih sangat sedikit dan hanya ada di Jawa Timur yang dikelola oleh PTPN XII.

“Kalau dari segi harga dan kualitas, jenis FFC itu bisa dua kali atau bahkan tiga kali lipat dari bulk cocoa. Misalnya untuk kakao jenis biasa harganya US$2,5/kg, untuk FFC bisa sampai US$7/kg tapi jumlahnya tidak banyak.”

Sebagian besar jenis kakao Indonesia merupakan bulk cocoa. Namun, jenis ini jika diproses melalui fermentasi dan dikeringkan dengan baik, sebetulnya bisa menghasilkan kualitas tinggi meskipun dari segi harga masih kalah dibandingkan dengan FFC.

Sayangnya, mayoritas petani kakao langsung menjual biji basah tanpa melalui proses fermentasi karena prosesnya akan lama, sekitar seminggu sampai 10 hari. Apalagi, fermentasi minimalnya harus ada 40 kg biji kakao. Padahal, setiap petani rata-rata hanya memiliki lahan setengah hektare dan sulit mendapatkan 40 kg biji kakao dalam sekali panen.

Petani menganggap selisih harga biji kakao fermentasi dan nonfermentasi hanya RP1.000-Rp2.000 per kg, dan prosesnya dianggap rumit. Padahal, kalau proses fermentasi dan pengeringannya baik, minimal harganya bisa selisih hingga Rp5.000/kg. Bahkan kalau disortir bisa 2 kali lipat dan bisa masuk ke dalam kakao premium."

Untuk kakao kering nonfermentasi hanya Rp27.0O0-Rp30.000 per kg. Sedangkan kakao fermentasi dengan kualitas bagus bisa Rp40.000-Rp45.000 per kg.

Belakangan, sejumlah kelompok tani dan koperasi di Manokwari, Bali, Gunung Kidul, Berau, hingga Sulawesi mulai melakukan fermentasi. Mereka membeli kakao basah dari petani untuk kemudian dikeringkan dan difermentasi. Dengan begitu, kualitas kakaonya meningkat sehingga harga jualnya menjadi lebih tinggi.

Menurutnya, pembeli kakao fermentasi dari luar negeri rutin memesan kakao Indonesia seperti dari Belanda. Selain fermentasi, kakao berkualitas juga dilihat dari beberapa parameter seperti kadar air maksimal 7,5% sebab jika lebih dikhawatirkan akan berjamur, serta tidak boleh ada kotoran maupun serangga.

STANDAR KUALITAS

Ada juga standar SNI untuk kakao yang diwajibkan untuk bubuk kakao. Sedangkan biji kakao, lemak, dan kakao massa tidak wajib SNI, meskipun standardisasi dan lembaga sertifikasinya sudah ada.

Kakao berkualitas tinggi paling banyak digunakan untuk pangan seperti makanan dan minuman coklat yang mementingkan kualitas rasa dan kandungan. Sedangkan untuk kosmetik, biasanya diambil hanya lemaknya (buffer) sehingga tidak membutuhkan kakao dengan kualitas tinggi.

Untuk menjaga mutu, teknologi fermentasi biji kakao menjadi sangat penting. Pemerintah melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN) juga membuat standar mutu biji kakao yang diatur dalam SNI 2323-2008.

Ketentuan standar SNI ini meliputi definisi, klasifikasi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara uji, syarat penandaan {labelling), cara pengemasan dan rekomendasi. Standar mutu ditentukan sebagai tolok ukur untuk pengawasan pengendalian mutu.

Setiap bagian biji kakao yang akan diekspor harus memenuhi persyaratan standar mutu tersebut yang diawasi oleh lembaga pengawasan terkait. Salah satu prasyarat menjaga mutu biji kakao adalah fermentasi.

Wahyu  Purbowasito, Direktur Pengembangan  Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal Badan Standardisasi Nasional/BSN mengatakan, kualitas biji kakao akan sangat memengaruhi kondisinya ketika menjadi produk. “Sebab, jika di awalnya kurang bagus, di hilirnya akan sulit untuk diperbaiki.”

Untuk itu, penting memerhatikan proses budidaya kakao, proses pemanenan, serta penanganannya, termasuk fermentasi.

“Teknologi fermentasi dan inovasi proses fermentasi kakao sudah ada sejak lama. Cuma masih banyak petani tidak mau melakukannya, karena mereka berpikir yang penting laku,”katanya.

Padahal, jika mutu biji kakao benar-benar dijaga sejak proses awal, dapat mengangkat kakao nasional bersaing di pasar domestik maupun internasional. Apalagi dari sisi karakteristik biji kakao Indonesia memiliki titik leleh yang tinggi dan kaya kandungan lemak sehingga dapat menghasilkan produk berkualitas.

Arifin Dwi Putro, Peneliti Kakao-Coklat di Laboratorium Teknik Pangan dan Pascapanen UGM menegaskan, standar serta kualitas biji kakao yang dijaga sejak awal, akan sangat memengaruhi kualitas dan cita rasa kakao saat menjadi produk pangan seperti cokelat. Jika kelompok tani kakao tidak memiliki pemahaman yang baik tentang hal tersebut, bisa dipastikan produknya akan kalah bersaing,

Menurutnya, cokelat berkualitas dinilai berdasarkan tujuh parameter yaitu penampilan warna haruslah homogen di setiap titik permukaan serta harus mengilap. Cokelat yang tidak mengilap mengindikasikan kekurangsempurnaan dalam proses tempering atau termo-mekanis sebelum pencetakan cokelat.

Saat dipatahkan, cokelat harus memiliki snap yang bagus. Jika melengkung dengan tekstur yang lembek, bisa dipastikan kristal cokelat hasil proses tempering mulai meleleh yang membuat kualitas cokelat menurun.

Lalu, saat masuk ke lidah, cokelat segera meleleh. Cokelat yang baik harus memiliki kekasaran partikel yang sangat rendah, serta memiliki kekentalan dan sifat alir yang pas.

Terakhir rasa dan aroma cokelat yang memberi sensasi nikmat, jika, saat meleleh dalam mulut muncul asam dan sepat maka kualitas cokelat tersebut kurang baik.

 

Sumber Berita: Koran Bisnis Indonesia, 21 Februari 2021, Hal. 004