Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Manajemen Risiko di Sektor Publik terkait Pembatasan Transportasi Publik dan PSBB

  • Rabu, 13 Mei 2020
  • 7780 kali

 

Pembatasan transportasi sebagai salah satu wujud dari implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengatasi penyebaran Covid-19 berdampak pada timbulnya berbagai risiko baik di lingkup organisasi maupun masyarakat luas secara umum. Untuk itu, organisasi penyedia layanan transportasi yang beroperasi secara terbatas selama pemberlakukan PSBB harus terus memantau perkembangan yang ada. Hal tersebut terungkap dalam acara Web Seminar (Webinar) dengan tema Manajemen Risiko di Sektor Publik Terkait Pembatasan Transportasi Publik dan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diselenggarakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) secara online pada Rabu (13/5/2020).

Dalam kesempatan tersebut, pembicara pertama, Deputi Bidang Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN, Zakiyah menyampaikan bahwa organisasi saat ini tidak bisa menutup diri dari lingkungannya, harus tetap berinteraksi dengan lingkungan. Menangkap dinamika lingkungan yang kompleks dan berubah cepat. Berbicara tentang Covid-19, harus memperhatikan strategi kedepan seperti apa perubahan lingkungan eksternal yang terjadi. Pengertian manajemen risiko adalah rangkaian kegiatan untuk mengidentifikasi, mengukur, mereview, mengendalikan, memitigasi, serta memonitor berbagai aktivitas.

Terkait penanganan risiko, saat ini pemerintah sudah mengambil langkah-langkah terkait Covid-19 melalui Inpres 4/2020, Pembatasan Sosial Berskala Besar, Pembatasan Transportasi, dan lain-lain. Zakiyah mengungkapkan, BSN selaku lembaga yang memiliki tanggung jawab penuh di bidang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) melihat bahwa tujuan dari SPK yang sejalan dengan manajemen risiko adalah melakukan perlindungan kepada konsumen serta masyarakat dari aspek keselamatan, keamanan, dan kesehatan. Di samping itu, juga untuk meningkatkan mutu serta penetrasi pasar dan efisiensi produksi. 

Terkait SNI Manajemen Risiko, BSN sudah membuat 5 SNI yaitu SNI ISO 31000:2018 Manajemen risiko – Pedoman (ISO 31000:2018, IDT); SNI 8849:2019 Manajemen risiko – Kompetensi sumber daya manusia dalam implementasi SNI ISO 31000; SNI 8848:2019 Manajemen risiko – Panduan implementasi SNI ISO 31000:2018 di sektor publik; SNI ISO/IEC 27005:2018 Teknologi informasi – Teknik keamanan – Manajemen risiko keamanan informasi (ISO/IEC 27005:2018, IDT, Eng); serta SNI 8615:2018 ISO 31000:2018, Manajemen Risiko – Pedoman (ISO 31000:2018, IDT).

Webinar juga mengundang ahli manajemen risiko sekaligus Ketua Komisi Teknis (Komtek) penyusunan standar manajemen risiko, Founder of Center for Risk Management & Sustainability (CRMS) Chair Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA), Antonius Alijoyo yang memaparkan sosialisasi manajemen risiko panduan implementasi SNI ISO 31000:2018 di sektor publik.

Manajemen risiko sektor publik yang terintegrasi dengan baik akan menghasilkan beban biaya yang jauh lebih murah dan memberikan manfaat yang jauh lebih baik. “Bangsa dan negara yang memiliki sistem peringatan dini yang baik maka akan memiiki kemampuan mengurangi kerusakan dari berbagai bencana alam,” ungkap Antonius Alijoyo. “Hal-hal ini yang mengangkat sebuah pendekatan yang terstandardisasi dan tertelusur kesesuaiannya, di Indonesia yang sudah dikenali masyarakat luas adalah SNI yang diproduksi oleh BSN sendiri.” sambungnya.

Kemudian, manajemen risiko diperlukan di dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) agar Indonesia bisa menjadi negara yang berpenghasilan tinggi yang sejahtera, adil, dan berkesinambungan. Di dalam RPJMN secara jelas disampaikan ada 7 agenda RPJMN IV tahun 2020 – 2024 dengan 6 arus utama. Salah satu arus utama adalah Tata Kelola Pemerintahan yang baik yang salah satu poinnya adalah penerapan manajemen risiko dalam pengelolaan kinerja instansi. Instansi mengelola pelayanan publik yang memerlukan transportasi, layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan lain-lain. “Semua ini memiliki risiko tidak tercapai apabila tidak dikelola dengan baik,” ungkap Antonius Alijoyo.

Dalam implementasi kebijakan, pemerintah perlu didukung oleh institusi-institusi yang berkaitan. Setelah pemberlakuan PSBB selesai, ada banyak dampak lain yang dapat terjadi. Disini manajemen risiko publik dapat berperan. “Dalam konteks Covid-19 dibutuhkan contingency dan resiliensi,” tegas Antonius Alijoyo.

Sementara itu, pembicara selanjutnya, Risk and Quality Management Group Head PT Jasa Marga (Persero) Tbk., Bayu Nurbaya mengungkapkan PT Jasa Marga melihat risiko dari sasarannya, ada yang terkait finansial, operasional, maupun proses bisnis yang dilakukan Jasa Marga. Covid-19 meningkatkan ketidakpastian bagi pencapaian sasaran Jasa Marga.

Selama pandemi Covid-19, Jasa Marga menghadapi 5 risiko yang meningkat terhadap pencapaian dan sasaran. Pertama adalah risiko regulasi dan pasar. Jasa Marga sedang membangun jalan tol baru yang mana berdampak pada penentuan tarif tol awal yang ditetapkan oleh regulator sehingga dapat merubah perencanaan bisnis perusahaan,” ungkap Bayu Nurbaya. Kondisi saat ini terdapat penyesuaian tarif jalan tol setiap 2 tahun, dengan adanya Covid-19 penyesuaian tarif tersebut akan ditinjau ulang karena perekonomian tidak berjalan dengan baik. Kedua, risiko likuiditas hasil dari penurunan lalu lintas yang mengurangi pendapatan perusahaan. Ketiga risiko operasional yang mengharuskan perusahaan untuk tetap memberikan pelayanan walau di tengah kondisi PSBB. Keempat risiko proyek yaitu adanya keterlambatan pembebasan lahan, keterlambatan progress pengerjaan proyek. Kelima, risiko kredit berupa pengembalian dana talangan. “Dari risiko-risiko tersebut, Jasa Marga melakukan mitigasi risiko berupa evaluasi dan prioritasi program kerja di seluruh kelompok usaha Jasa Marga; mengontrol beban Operational Expenditure (OPEX) dan Capital Expenditure (CAPEX); penentuan ulang jadwal kerja di proyek, dan lain-lain.” jelas Bayu Nurbaya. 

Pembicara selanjutnya, Vice President Perencanaan Strategis dan Manajemen Risiko PT. Kereta Commuter Indonesia (KCI), Hasyim menyampaikan mengenai penerapan manajemen risiko untuk pencegahan penyebaran Covid-19 di lingkungan PT. KCI yang mengelola total 80 stasiun kereta listrik. Di masa pandemi Covid-19, PT. KCI memberlakukan pengurangan frekeuensi perjalanan kereta listrik menjadi 758 perjalanan per hari yang dimulai sejak jam 06.00 WIB hingga 18.00 WIB, yang sebelumnya melayani 991 perjalanan per hari dari jam 04.00 WIB sampai 23.45 WIB. Hasyim menjelaskan bahwa di stasiun sendiri dilakukan pemeriksaan suhu badan dan penggunaan masker serta sarung tangan bagi petugas, pengecekan suhu bagi penumpang, pemberlakuan jaga jarak fisik, penyediaan wastafel portable dan hand sanitizer bagi penumpang, juga penyemprotan disinfektan dalam kereta baik sebelum maupun sesudah operasi. “Diharapkan Covid-19 menjadi lebih terkendali di lingkungan PT KCI,” ungkap Hasyim.

Dengan adanya pemberlakukan PSBB, PT KCI memberlakukan pembatasan jumlah penumpang per kereta dengan angka maksimal sebanyak 60 orang. Petugas Pelayanan Kereta (PPK) selalu menginformasikan dan mengingatkan ke penumpang untuk mematuhi penerapan jaga jarak penumpang.

“Terdapat konsekuensi operasional yang dihadapi PT KCI dengan adanya PSBB yaitu terjadinya penurunan volume penumpang sebesar 80% menjadi 171.251 penumpang per hari dari sebelumnya rata-rata mencapai lebih dari 800.00 penumpang per hari,” sambung Hasyim. 

Selanjutnya pembicara terakhir, Vice President Manajemen Risiko PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), Urip Nurhayat menjelaskan pencegahan dan penanganan Covid-19 pada sektor transportasi laut. Pelabuhan Indonesia II atau Indonesia Port Corporation II (IPC II) mengelola 12 cabang, 7 diantaranya di Sumbagsel, 1 di Kalimantan bagian Barat, dan 4 di Pulau Jawa. Salah satu cabang yang dikelola adalah termasuk yang terbesar di Indonesia yaitu Pelabuhan Tanjung Priok yang melayani 60% hingga 65% ekspor dan impor nasional. 

Urip Nurhayat menjelaskan, risiko penanganan Covid-19 adalah terjadi penurunan trafik yang berimbas pada pendapatan perusahaan. Di sisi lain, investasi yang sudah dilakukan IPC 2 menjadi lebih mahal karena didanai oleh global bonds, kemudian dihadapkan oleh risiko karyawan yang terpapar yang bisa mengganggu operasional pelabuhan dimana pemerintah meminta pelabuhan untuk tetap beroperasi. Sehingga IPC II mengaktivasi business continuity management agar tetap beroperasi di tengah wabah. “Divisi Kendali Mutu melakukan critical to business analysis yang menganalisa prioritas kerja setiap departemen dengan tujuan untuk menentukan bagian-bagian yang melaksanakan work from home (WFH) dan yang tetap hadir di kantor,” ungkap Urip.

Manajemen risiko dari berbagai layanan yang dijalankan IPC 2 merujuk kepada penjelasan Urip Nurhayat adalah sebagai berikut, Pelayanan Kapal bekerja sama dengan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), setiap ada kapal yang akan berlabuh dilakukan pemeriksaan di area laut atau anchoring area untuk memastikan tidak ada potensi penularan wabah.

Selanjutnya, Pelayanan Penumpang, dilaksanakan pemeriksaan suhu tubuh sebelum menaiki kapal, juga disediakan masker, hand sanitizer, dan wastafel. Untuk Pelayanan Barang terhadap kargo yang berasal dari negara epidemi, pekerja menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Di dalam area pelabuhan sendiri dilakukan penyemprotan disinfektan, pemasangan tanda jaga jarak fisik, juga melakukan rapid test kepada karyawan.

Webinar yang dimoderatori oleh Direktur Penguatan Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN, Heru Suseno ini memfasilitasi tanya-jawab antar peserta dan narasumber. (PjA – Humas)