Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Perlu Selaras Dengan Paramater

  • Sabtu, 28 September 2019
  • 1133 kali

"Sebagian pemerintah kabupaten dan kota berpandangan, indikator penting dari kota cerdas adalah kecanggihan teknologi informasi. Dalam hal ini, Badan Standardisasi Nasional mensyaratkan 18 parameter utama."

Indikator dari sebuah kota cerdas adalah pemanfaatan kecanggihan teknologi informasi. Namun, Badan Standardisasi Nasional (BSN) mengklaim ada sejumlah parameter baru yang harus dipenuhi agar suatu daerah dapat menerapkan smart city

Kepala BSN Bambang Prasetya mengakui bahwa saat ini kota cerdas makin marak. Hanya saja, sebagian pemerintah daerah masih menilai bahwa kota cerdas adalah kota yang canggih hanya dengan memaksimalkan dukungan teknologi. Padahal, BSN telah menerapkan standar SNI ISO 37120:2018 tentang smart city dengan sejumlah tolok ukur yang tidak sebatas pada teknologi informasi.

"Berangkat dari kekeliruan itu, saya khawatir dan takut, pemerintah daerah melenceng dari pakem. Padahal, dalam standar internasional dan ISO telah ada pakemnya."

Bambang menilai, perkotaan membutuhkan sejumlah indikator untuk mengukur kinerja. Indikator yang sudah diterapkan biasanya tidak standar, tidak konsisten, dan tidak dapat dibandingkan dari sisi waktu dan wilayah.

Standar tersebut hanya fokus pada pelayanan perkotaan dan kualitas hidup sebagai bagian dari kontribusi pada keberlangsungan kota.

Secara garis besar, ada 18 parameter yang bisa dijadikan referensi dalam standar kota cerdas di antaranya adalah indikator utama, profil dan pendukung.

Menurut dia, konsep dari kota cerdas adalah wilayah yang cakap dalam bidang ekonomi, penduduk, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, transportasi atau mobilitas, dan lingkungan hidup. Jadi, integrasi berbagai bidang untuk kota cerdas sangat dibutuhkan.

 

Integrasi

Bambang menegaskan, kota cerdas adalah kota yang mampu mengintegrasikan seluruh infrastruktur termasuk jalan, jembatan, terowongan, rel, kereta bawah tanah, bandara, pelabuhan, komunikasi, air, listrik, hingga pengelolaan gedung. Dengan strategi itu, maka pemerintah dapat mengoptimalkan sumber daya, meningkatkan kenyamanan dan keamanan yang dipercayakan kepada penduduknya.

Konsep kota cerdas juga semestinya membuat kota lebih efisien dan layak huni, hingga mengadopsi penggunaan smart computting untuk menciptakan aneka fasilitasnya.

Upaya tersebut dapat diimplementasikan untuk berbagai sektor hingga saling berhubungan secara efisien. Sejumlah sektor itu bisa diterapkan untuk pendidikan, kesehatan, keselamatan umum, dan transportasi.

Bambang mencontohkan, pada parameter ke-14 yaitu parameter yang terkait dengan transportasi, terdapat indikator utama yakni panjang kilometer sistem transportasi umum per 100.000 penduduk dan jumlah perjalanan transportasi umum per kapita per tahun.

Indikator pendukungnya adalah persentase perjalanan pergi—pulang menggunakan satu moda transportasi untuk bekerja, selain menggunakan kendaraan pribadi. Indikator profil yakni jumlah mobil pribadi dan motor per kapita.

Bila ditilik dari parameter ekonomi, indikator utama kota cerdas adalah rendahnya tingkat pengangguran perkotaan. Untuk indikator pendukung adalah nilai dari properti komersial dan industri, jumlah biSNIs, paten baru, dan konektivitas udara di kota tersebut.

Adapun, parameter ke-13 hingga 15 adalah telekomunikasi, transportasi dan pertanian, maka bisa saja kabupaten lebih siap daripada kota besar untuk menuju kota cerdas.

Berdasarkan data Kementerian Kominfo, Kabupaten Banyuwangi adalah daerah yang paling siap untuk menuju kota cerdas.

Pemerintah pun berkomitmen menyukseskan program 100 Smart City, meski pakem yang digunakan masih sangat bervariasi. Dia menjelaskan, meskipun standar daerah menuju kota cerdas beragam, hal tersebut masih dapat ditoleransi asalkan masih ada peluang perbaikan menuju indikator yang telah ditetapkan oleh BSN. (JIBI/Bisnis Indonesia)

 

 

 

Harian Jogja, 28 September 2019, halaman 3