Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Perlu standardisasi agar tak salah kaprah

  • Senin, 01 Juni 2009
  • 2670 kali

Kliping Berita :

Indonesia diuntungkan dengan kondisi alam yang tropis, sehingga untuk mewujudkan perumahan ‘hijau’ tidak terlalu rumit. Para pengembang di negeri ini dengan mudah menjual dan melabeli 'hijau' pada produk propertinya, meskipun belum tentu memenuhi standar.
Berbicara mengenai properti ramah lingkungan, Indonesia selalu terbentur dengan standar konsep properti ramah lingkungan. Selama ini belum ada acuan yang terakreditasi bagi pengembang yang ingin menggarap green property.

Persepsi pengembang terhadap konsep ramah lingkungan pun beragam. Maka wajar jika kriteria yang dikembangkan masing-masing developer berbeda.

Umumnya, developer masih menerapkan penghijauan sekitar kompleks perumahan dengan menambah taman, atau pohon. Jika hal ini yang menjadi acuan, maka perumahan di sekitar kaki pegunungan yang memang sudah banyak tanaman rimbun tentu sangat diuntungkan.

Beberapa standar properti ramah lingkungan yang dibuat sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura juga dinilai tidak relevan dengan kondisi di Indonesia. Apalagi standar green building yang dikeluarkan umumnya untuk mengukur efisiensi pada bangunan bertingkat.

Pengamat arsitektur dan Koordinator Peta Hijau Jakarta Nirwono Joga dan panitia Green Property Award 2009 mencoba merumuskan standar properti ramah lingkungan khusus untuk kompleks permukiman. Standar yang dirumuskan ini kemudian digunakan untuk menentukan pemenang penghargaan.

Meskipun standar yang dirumuskan masih bersifat subjektif, karena tidak melibatkan banyak pihak, namun usaha ini patut diapresiasi. Apalagi kriteria yang dirumuskan ternyata cukup mendalam dan lengkap. Setidaknya pengembang juga bisa belajar lebih banyak.

Developer memang perlu acuan lebih dalam sebelum menggarap rumah ramah lingkungan yang tidak sekadar memperbanyak pohon. Faktor lain yang lebih substansial dan murah masih belum banyak disentuh.

8 Kriteria

Nirwono merekomendasikan delapan kriteria yang mesti dipenuhi oleh pengembang jika ingin mendapat label perumahan ramah lingkungan.

Delapan kriteria itu adalah taat pada aturan tata ruang dan lingkungan, menyediakan sistem pengolahan sampah dan limbah, mempunyai sistem pengendalian air, jaringan infrastruktur, akses transportasi, ruang terbuka hijau, konsep desain bangunan, dan partisipasi warga.

Rumah ramah lingkungan adalah hunian yang dibangun dengan meminimalisasi dampak buruk terhadap lingkungan, dan lebih banyak menggunakan bahan bangunan yang bisa didaur ulang.

Pemahaman sebagian besar masih terbatas pada penyediaan ruang terbuka. Sebagian pengembang sudah memahami konsep ini, tetapi belum serius karena berbagai kendala.

Faktor yang belum mendapat perhatian penuh adalah akses transportasi. Developer masih belum mendorong penghuninya menggunakan transportasi massal. Tidak ada fasilitas parkir sepeda, atau jalur pejalan kaki yang bisa digunakan aktivitas keperluan sehari-hari.

“Kalaupun ada pedestrian dan jalur sepeda, itu hanya untuk tujuan rekreasi. Belum menjadi kebutuhan sehari-hari,” kata Nirwono.

Kriteria lainnya adalah pengelolaan sampah, sumber daya air dan partisipasi warga.

Umumnya developer melimpahkan kewenangan pengelolaan itu kepada pihak ketiga. Padahal seharusnya warga diajak berpartisipasi langsung dalam mengelola semua sumber daya di sekitarnya.

Beberapa desain rumah juga masih kaku. Ventilasi yang dibutuhkan sebagai aliran udara masih minim, sehingga keberadaan ruang terbuka hijau bisa jadi percuma, karena rumah masih didesain dengan alat pendingin ruangan (AC).

Lembaga lain yang aktif merumuskan konsep properti ramah lingkungan adalah Green Building Council Indonesia (GBCI). Lembaga ini sudah dibentuk sejak tahun lalu oleh sejumlah perusahaan konsultan properti, pengamat, arsitek, akademisi, dan pengembang. Konsep yang sedang dirumuskan lebih mengacu untuk gedung bertingkat baik lama maupun baru.

Pada pertengahan bulan ini, GBCI melakukan perkenalan awal kepada para pengembang mengenai pembentukan lembaga ini. “Responsnya bagus, pengembang juga butuh standar yang jelas agar konsepnya seragam,” kata Tondy O. Lubis, salah satu penggagas dibentuknya GBCI.

Pembentukan lembaga ini diinspirasi oleh lembaga serupa di Amerika Serikat dan Eropa.

Tondy mengatakan GBCI saat ini sedang merumuskan peringkat dan level untuk menentukan standar properti ramah lingkungan. Konsepnya sama seperti Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) di AS, atau Green Mark di Singapura. “Hanya parameternya lebih spesifik lagi, karena kondisi Indonesia berbeda dengan negara lain. Tak hanya itu juga kemungkinan merumuskan parameter yang berbeda di setiap daerah sesuai karakteristik dan kondisi alam setempat,” ujarnya.

Tondy berharap jika GBCI sudah diluncurkan secara resmi dan mempunyai standar, maka tidak akan ada lagi perbedaan konsep properti hijau di Indonesia. (redaksi @bisnis.co.id)


Oleh A. Dadan Muhanda

Kontributor Bisnis Indonesia

Sumber : Bisnis Indonesia,
Sabtu, 30/05/2009