Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Batang kelapa sawit bernilai tinggi tapi minim pemanfaatan

  • Kamis, 20 Juni 2019
  • 2305 kali

Alih-alih merusak lingkungan, batang kelapa sawit justru menekan laju deforestasi dan bisa diolah menjadi berbagai komoditas bernilai tinggi. Namun, pemanfaatannya belum optimal.

Hal itu disampaikan Moekti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), dan Dwi Sudharto, Kepala Puslitbang Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Menurut mereka, batang kayu sawit bisa diambil niranya untuk dijadikan gula merah, pun digunakan industri kayu untuk diolah menjadi furnitur, kayu lapis, flooring, dan sebagainya.

"Harganya tidak akan jauh beda dengan produk kayu [menggunakan kayu dari hutan alam], kualitasnya bagus setara dengan kayu
kelas 2 seperti meranti, apalagi diawetkan jadi lebih bagus, kuat juga, selain itu corak kayu sawit ini cukup unik," ujar Dwi.

Bahkan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah mengklaim serat batang kelapa sawit bisa diolah menjadi bioetanol dan pelet pengganti batu bara.

Sayang, pemanfaatan batang sawit selama ini sering kali diabaikan. Jika pun ada, hanya di segelintir wilayah, bukan massal. Itu pun masih didominasi produksi gula merah dalam skala kecil.

Batang sawit merupakan biomasa kebun yang dihasilkan dari kegiatan penanaman kembali atau peremajaan (replanting) setelah
tanaman kelapa sawit mencapai umur ekonomis di kisaran 20-25 tahun.

Berbeda dari limbah biomasa pabrik seperti tandan kosong dan cangkang sawit yang berhasil menjajal pasar ekspor dan banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif, batang sawit yang dianggap tidak produktif lagi di usia tuanya lebih sering dicacah untuk memperkaya nutrisi tanah pada area peremajaan, atau dibiarkan membusuk.

Batang sawit yang membusuk akan menjadi tempat bersarang kumbang Oryctes rhinoceros dan jamur Ganoderma, pengganggu tanaman sawit muda yang merugikan.

Lalu jika batang sawit dibakar, selain membahayakan dan bisa memulai kebakaran hutan, limbahnya bisa saja mencemari sungai sekaligus melepas emisi karbon ke atmosfer. Inilah yang dicemaskan banyak pihak, limbah sawit dapat memicu kerusakan lingkungan dan pemanasan global.

Sebagai solusi, banyak sudah publikasi penelitian tentang pemanfaatan batang sawit. Wacana untuk memaksimalkan potensi batang kayu sawit pun terus berkembang. Lebih-lebih sejak defisit pasokan bahan kayu komersial tahun 2006, ditambah melonjaknya bahan baku kayu akibat nilai tukar rupiah melemah.

Pada 2009, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan bekerja sama dengan PT Inhutani IV Riau, untuk pertama kalinya berhasil menguji coba pemanfaatan batang sawit sebagai bahan venir dan kayu lapis.

Adapun hasilnya mengungkap sejumlah keuntungan positif. Salah satunya, batang sawit bisa membantu mengurangi penebangan kayu di hutan alam sehingga turut menekan laju deforestasi.

Akan tetapi, menurut Jamal Balfas, penemu kayu berbahan baku sawit sekaligus peneliti dari Balitbang Kemenhut, prosedur pemanfaatan kayu batang sawit sama sekali tidak mudah. Banyak pabrik yang menunda atau berhenti mengoperasikan pengolahan limbah lantaran terkendala masalah birokrasi dan biaya produksi tinggi.

Untuk realisasi pemanfaatannya hingga saat ini, Wakil Sekjend Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Sumatra Utara, M Sofyan Daulay (25/3), mengatakan, di Kabupaten Serdangbedagai (Sergai) pengrajin sudah mampu memproduksi 5 ton gula merah dari batang sawit sehari. Bahkan mereka sedang memproses gula merah menjadi brown sugar.

Soal keuntungannya, menurut Azanuddin Kurnia, Kabid Pengolahan dan Pemasaran Perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, gula merah sawit bisa menambah pendapatan sekaligus menjadi sumber ekonomi baru bagi petani sawit di Aceh yang sudah mengikuti pelatihan.

Namun, Daulay mengakui, masih banyak hambatan untuk produksi dalam skala besar lantaran minimnya biaya membeli peralatan dan teknologi, pun masih menunggu proses untuk menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI).


Padahal, jika menimbang prospek jangka panjangnya, potensi batang sawit untuk seluruh komoditas sangat menjanjikan. Merujuk data Badan Pusat Statistik, selama periode 1999-2017 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia perkembangannya terus meningkat.

Pada 2018, total luas perkebunan kelapa sawit mencapai 12,3 juta hektare berdasarkan data Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.

Sementara itu, menilik luasan kebun kelapa sawit tahun 1991 oleh Kementan, terdapat 1,3 juta hektare kebun yang saat ini telah berumur lebih dari 25 tahun atau memasuki masa replanting. Luasan ini akan meningkat untuk beberapa tahun selanjutnya.

Artinya, banyak batang sawit sebagai bahan baku yang bakal terus tersedia.

Selain itu, Dwi Sudharto juga menilai potensi produksi sawit akan jauh lebih besar dibandingkan produksi kayu bulat.

Menurut data KLHK, kata dia, kontribusi kayu bulat dari hutan alam tahun 2018 sebesar 17,64 persen atau 8,59 juta m3. Dengan memanfaatkan batang kayu sawit potensi kayu yang dihasilkan lebih dari 100 juta m3.

sumber: https://beritagar.id/artikel/berita/batang-kelapa-sawit-bernilai-tinggi-tapi-minim-pemanfaatan




­