Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Potensi Pengembangan Sertifikasi Sustainability di Indonesia

  • Kamis, 10 Maret 2016
  • 3846 kali

Dalam rangka pengembangan skema sustainability yang komprehensif di Indonesia, Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyelenggarakan Workshop dengan Tema “Potensi Pengembangan Sertifikasi Sustainability di Indonesia” pada Selasa (8/3/2016) di Jakarta. Workshop yang juga menjadi forum diskusi ini bertujuan untuk menghasilkan rumusan-rumusan pemikiran bagi pengembangan skema sertifikasi sustainability di Indonesia.

 

 

Acara yang dibuka Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar BSN Zakiyah mewakili Deputi Bidang Penerapan Standar dan Akreditasi BSN diikuti oleh kurang lebih 70 peserta. Workshop menghadirkan pembicara utama Kepala Bidang Akreditasi Lingkungan BSN Zul Amri, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian Dedi Junaedi, Invesment Specialist Yayasan Kehati M. Wais Fansuri, Kepala Sekretariat Komisi ISPO Herdradjat Natawidjaja, Head of Business Development PT Mutu Agung Lestari Ferry Sidauruk, serta Senior Sustainability Manager Wilmar International Limited Alfat Agus Salim.

 

Dalam sambutan yang dibacakan, Zakiyah menyampaikan bahwa seiring perjalanan waktu, konsep berkelanjutan (sustainable) dipresentasikan oleh beberapa pihak dengan kegiatan standardisasi dan sertifikasi, untuk meyakinkan pihak lain mengenai komitmennya dalam pelaksanaan kegiatan bisnis yang sustainable.

 

 

 

Skema sertifikasi “sustainability”, lanjutnya, banyak diinisiasi oleh pihak-pihak yang peduli terhadap keberlangsungan dan keseimbangan 3 aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dalam kegiatan suatu bisnis, yang kemudian juga menjadi “persyaratan” dalam transaksi bisnis dengan kuatnya pengaruh pihak-pihak tersebut terhadap kelompok “buyer”, konsumen, pemerintah maupun produsen itu sendiri.

 

 

 

 

“Pada saat ini kita mengenal banyak skema sertifikasi “sustainability” lintas batas yang tersedia pada berbagai sektor bisnis seperti Forest Stewardship Council (FSC) untuk sektor kehutanan,  the Marine Stewardship Council (MSC) untuk sektor kelautan, Round Table Palm Oil (RSPO) dan  International Sustainablity and Carbon Certification (ISCC) untuk industri perkebunan kelapa sawit, Rainforest Alliance Coffee Certification (RACC) dan Fairtrade International relies on an independent certifying organization (Flo-Art) untuk indutri perkebunan kopi, dan masih banyak lainnya,” kata Zakiyah.

 

 

 

 

Di Indonesia sendiri, Pemerintah mengembangkan skema sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) untuk hutan dan Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) untuk industri perkebunan kelapa sawit. Khusus untuk ISPO, penerapan standar tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No.11/Permentan/OT.140/3/2015. Menurut Dedi, penerapan ISPO dilaksanakan dengan pemenuhan 7 Prinsip melalui penilaian audit oleh Lembaga Sertifikasi yang telah diakreditasi oleh KAN (ada 11 Lembaga Sertifikasi) “Sampai Februari 2016 telah diterbitkan 149 sertifikat ISPO,” kata Dedi.

 

Zul Amri, menambahkan, KAN sendiri selain mengembangkan sertifikasi ISPO, juga telah mengembangkan skema akreditasi di bidang lingkungan lainnya, diantaranya Sistem Manajemen Lingkungan (SML), Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), PHPL, Sistem Manajemen Energi (SME) dan Ekolabel.

 

Menurutnya, inisiatif-inisiatif memunculkan skema sertifikasi sustainability ialah untuk kepentingan menjaga kelestarian lingkungan, akses pasar yang lebih baik, dan memenuhi komitmen perjanjian. Perkembangan dan kemunculan skema-skema sertifikasi “sustainability”, lanjut Zul, masih akan terus berlanjut pada sektor-sektor bisnis lainnya, yang mau tidak mau juga akan memengaruhi kegiatan bisnis di Indonesia. (ria-humas)




­