Badan Standardisasi Nasional

Majalah SNI Valuasi Volume 8 No.1 2014


RUU SPK "Jangan ketinggalan momentum" Standardisasi dan penilaian kesesuaian kian diakui sebagai instrumen penting perdagangan di era globalisasi dan pasar bebas. Arti penting standardisasi dan penilaian kesesuaian menjadi begitu strategis menjelang pelaksanaan pasar tunggal ASEAN pada awal tahun 2016. Selama ini kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian di Indonesia dilaksanakan di bawah payung hukum berupa PP No. 102 Tahun 2000. Harus diakui bahwa kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian di era perdagangan bebas memiliki dinamika yang kompleks. PP No. 102 Tahun 2000, sebagai dasar hukum kegiatan standardisasi, dinilai sulit untuk menyelesaikan permasalahan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian yang telah berkembang pesat. Untuk itu, kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian perlu diatur dalam payung hukum berupa UU yang menjamin adanya koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi, sehingga upaya standardisasi dan penilaian kesesuaian di Indonesia dapat dilakukan secara efisien, efektif, terpadu dan terorganisasi. Atas dasar pemikiran itu, disusun Rancangan Undang-Undang mengenai Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (RUU SPK). Sejak tahun 2009 hingga 2011, RUU SPK telah dibahas dalam Rapat Panitia Antar Kementerian. Di tahun 2012, RUU SPK memasuki tahap harmonisasi. RUU SPK kemudian masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2013. Di akhir tahun 2013, tepatnya pada 26 November 2013, Rapat Paripurna DPR mengesahkan pembentukan Pantia Khusus (Pansus) RUU SPK. Pansus tersebut berjumlah 30 orang. Dari pihak pemerintah, yang ditugaskan Presiden untuk membahas RUU SPK, yaitu: Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Mengutip pandangan Prof. Dr. FG Winarno, yang dikenal sebagai Bapak Teknologi Pangan Indonesia, keberadaan UU SPK tidak hanya urgen melainkan sudah pada tahap “hidup atau mati”. Keberadaan UU SPK tidak lagi bisa ditawar-tawar agar Indonesia dapat menarik manfaat luas dari implementasi pasar tunggal ASEAN atau kerjasama ekonomi perdagangan bebas lain. Jika keberadaan UU SPK tidak kunjung terwujud di tahun ini, seperti diingatkan Kepala BSN, maka Indonesia tidak hanya akan kehilangan momentum tetapi lebih lanjut menjadi “korban” dari implementasi pasar tunggal. Indonesia akan menjadi tempat penyaluran “produk sampah” yang mengancam keamanan dan keselamatan konsumen serta kelestarian lingkungan. Kehadiran UU SPK akan menjadi filter yang menyaring masuknya produk asing yang tidak memenuhi standar

untuk e-book dapat dibaca/download disini


Pertanyaan Umum



­