Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

BSN Dukung Program Fortifikasi dalam SNI Terkait Bahan Pangan

  • Selasa, 19 Februari 2019
  • 3969 kali

Bangsa Indonesia sedang mendapatkan bonus demografi, dimana jumlah usia produktif (umur 15-64 tahun) jauh melebihi kelompok usia tidak produktif (anak-anak usia 14 tahun ke bawah dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Artinya, kemajuan ekonomi Indonesia ke depan akan sangat bergantung pada kualitas Sumber Daya Manusia.

 

Namun, keuntungan tersebut dapat menjadi bumerang karena pada kenyataannya, saat ini Indonesia masih menghadapi berbagai masalah gizi. Salah satu yang dominan adalah kekurangan gizi mikro seperti  anemia gizi besi, gangguan akibat kekurangan iodium, serta kekurangan vitamin A. Kekurangan gizi mikro ini dapat mengakibatkan hambatan perkembangan pada otak, baik perkembangan kognitif maupun motorik, sehingga dapat berdampak luas terhadap kualitas Sumber Daya Manusia.

 

Demikian disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional  Bambang Brodjonegoro saat membuka Workshop Nasional Fortifikasi Pangan di Jakarta, pada Selasa (19/02/2019). Deputi Bidang Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian Badan Standardisasi Nasional (BSN), Zakiyah, turut hadir dalam workshop ini.

 

Dalam upaya penanggulangan masalah gizi mikro tersebut, pemerintah telah melaksanakan beberapa program, baik program suplementasi gizi, upaya perubahan perilaku masyarakat agar  mengonsumsi sumber makanan yang kaya akan gizi, dan program fortifikasi pangan.

 

Fortifikasi pangan sebagai salah satu upaya pemenuhan zat gizi mikro masyarakat merupakan intervensi yang terbukti “cost-effective” karena dilakukan melalui bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat secara luas terutama penduduk tidak mampu dan biaya yang relatif lebih rendah. Namun pelaksanaan program ini membutuhkan upaya lebih karena partisipasi industri pangan adalah mutlak.

 

Untuk menyukseskan program fortifikasi, dibutuhkan koordinasi yang kuat diantara kementerian / lembaga. “Segala kebijakan akan berjalan lancer apabila ada peraturan yang mendorongnya,” ujar Bambang. Selain regulasi, Bambang pun menekankan pentingnya pengawasan dalam implementasinya. “Pengawasan yang ingin kami dorong, pertama adalah mekanisme pengawasannya, terutama impelementasi dari SNI, kemudian meningkatkan kepatuhan pelaku terhadap standar produksi pangan, dan dukungan pembinaan kepada pelaku industri makanan dan minuman,” tegas Bambang.

 

Dalam kesempatan ini, Deputi Bidang Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian Badan Standardisasi Nasional (BSN), Zakiyah memaparkan bahwa pada saat penetapan SNI, BSN selalu memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh kebutuhan nasional, termasuk perihal fortifikasi. “SNI terkait garam beryodium dan SNI tepung terigu sebagai bahan makanan saat ini sudah diberlakukan wajib,”ujar Zakiyah.

 

Zakiyah pun menjelaskan bahwa BSN juga melakukan evaluasi sejauh mana tingkat efektivitas penerapan SNI, baik yang wajib maupun sukarela. Dalam rangka efektivitas penerapan SNI, BSN dapat melakukan uji petik kesesuaian terhadap SNI berkoordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian terkait, diantaranya dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, BPOM, BPKN, serta pemerintah daerah.

 

“Koordinasi antara BSN dengan BPOM sangat erat. Bahkan, mulai dari perumusan standarnya, komite teknis dari BPOM sangat aktif, termasuk memasukkan unsur-unsur fortifikasi ,” jelas Zakiyah.

 

Selain menetapkan SNI yang mendukung program fortifikasi, BSN juga melakukan fasilitasi, terutama untuk usaha mikro kecil, bagaimana menerapkan SNI. “Mulai dari bagaimana persiapan pelatihannya, membangun sistemnya, sampai pembiayaan sertifikasi,” jelas Zakiyah. Adapun untuk industri menengah besar, tambahnya, BSN terus melakukan sosialisasi persyaratan-persyaratan SNI yang berlaku, serta menyosialisasikan beberapa ketentuan yang terkait, baik untuk sektor perdagangan regional maupun internasional.  (ald-Humas)