Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Daya Saing Industri Mesin dan Logam, Masih Lemah.Perlu Inovasi dan Standardisasi

  • Kamis, 28 September 2017
  • 5894 kali

 

Arah Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPNJP 2005-2025), pada periode jangka menengah 2015-2019 adalah untuk memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian berbasis SDA yang tersedia. RPNJP diatas selaras dengan Sembilan (9) agenda prioritas pembangunan (Nawa Cita) Pemerintahan Presiden Joko Widodo, khususnya terhadap dua agenda yang saling berkaitan, yaitu (a) upaya meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional untuk (b) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. 


Maka upaya menumbuhkankembangkan daya saing industri manufaktur logam dan mesin menjadi salah satu strategi kunci yang perlu dijabarkan program-programnya secara terukur, yang dapat di evaluasi dan dicapai targetnya, di dalam kerangka waktu yang jelas seperti telah ditetapkan RPJMN. Program ini semestinya dirumuskan secara sinergis, idealnya di tahapan perencanaan oleh para pemangku kepentingan, khususnya industriawan/asosiasi dan mitra kerjanya, bersama pemerintah melalui kementrian terkait, lembaga keuangan, dunia pendidikan/akademisi, termasuk pendidikan vokasi, termasuk lembaga penelitian & pengembangan baik yang dimiliki pemerintah maupun perguruan tinggi. 

Namun demikian, untuk mewujudkan hal itu, butuh komitmen dan kerja keras. “Kualitas kelembagaan penelitian, kerjasama penelitian antara perguruan tinggi dan industri, serta ketersediaan ilmuwan dan ahli teknologi Indonesia, masih tertinggal dibanding negara lain,”ujar Ketua Masyarakat Standardisasi Indonesia (MASTAN), Supandi, di sela-sela Seminar “Menumbuhkembangkan Daya Saing industri Manufaktur Logam dan Mesin melalui Inovasi dan Standardisasi”, di Jakarta Internasional Expo (28/09/2017). 

 

Selain itu, penganggaran dana untuk penelitian di Indonesia masih rendah dan belum menjadi prioritas. Begitu pula dengan jumlah pelaku riset. “Persoalan lain diantaranya masih rendahnya jumlah SNI wajib termasuk lingkup atau jenis atau macam barang yang sudah ber SNI untuk produk industri logam dan mesin”, jelas Supandi. 

Supandi menilai, melemahnya produktivitas industri mesin perkakas, diakibatkan oleh beberapa hal diantaranya (1) impor material dasar dari negara nonfree trade agreement atau kategori most favourable nations (MFN) dikenakan bea masuk tinggi. Sementara impor produk jadi dari negara yang menjalin FTA tidak dikenakan; (2) Struktur ongkos produksi pada industri perkakas sekitar 40%-60% hanya untuk bahan baku. Sedangkan tariff bea masuk baja MFN sesuai PMK No.97/2015 (tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor) paling rendah 10% dan paling tinggi 20%, 

Serta (3) Disharmoni tarif ini menyebabkan harga produk dengan nilai TKDN tertentu mendapatkan preferensi harga lebih tinggi 10%; tetap tidak mampu bersaing dengan produk mesin perkakas impor. 

Seminar “Menumbuhkembangkan Daya Saing industri Manufaktur Logam dan Mesin melalui Inovasi dan Standardisasi”, diselenggarakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) berkerjasama dengan MASTAN, dan diharapkan dari seminar tersebut akan terindentifikasi masalah dan menemukan solusi untuk memicu inovasi dan standarisasi barang hasil produksi di sektor logam dan permesinan. 

Selain itu, hasil seminar juga diharapkan akan menghasilkan usulan kebijakan baru kepada Pemerintah atau usulan koreksi, menyempurnakan atau sinergi kebijakan fiskal yang sudah ada, agar insentif pajak yang diberikan pemerintah lebih menarik sehingga mendorong tumbuh kembangnya kegiatan R & D serta inovasi di Sektor Industri Logam & Mesin, baik oleh BUMN/BUMD, UKM/IKM maupun swasta dengan melibatkan atau kerja sama dengan Lembaga Pendidikan (khususnya Perguruan Tinggi) serta Lembaga Penelitian dan Pengembangan. 

Terkait SNI, menurut panelis dari BSN, Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN, Donny Purnomo mengatakan SNI memiliki peran penting. “Seperti diketahui, BSN memiliki tugas membuat SNI yg isinya merupakan konsensus dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam negeri (industri). Industri maunya seperti apa, konsumen maunya bagaimana, kemudian dibuat SNI nya.  Harapannya sederhana yakni memudahkan produsen. Dengan produsen bersertifikat, maka pasar yakin akan produknya yang sudah bertanda SNI, maka dengan mudah pula masyarakat mendapatkan produk yang bersertifikat tersebut beredar di pasar,” jelas Donny.

Tidak hanya sertifikasi pada produk saja, tetapi tambah Donny kompetensi orang-orang yang terlibat dalam proses produksinya sangat diperlukan yang dibuktikan dengan sertifikasi person. “Tidak akan terwujud pasar yang sehat dan produk yang berkualitas jika orang-orang yang terlibat dalam proses produksinya tidak kompeten.  Orang-orang yang berkompeten inilah nantinya dibuktikan dengan sertifikat person,” ujarnya.

“Apalagi ketika berbicara regulasi inginnya mencegah produsen nakal, mencegah barang berbahaya beredar di pasar, tetapi kalau yang mengatur tidak paham maka bubar,” tegas Donny.

Selain Donny, hadir dalam Seminar sebagai panelis adalah Executive Director Lembaga Sertifikasi Profesi Logam dan Mesin Indonesia, Bambang Nurcahyono; Presiden Direktur PT Kembar Aji Bernadus Arwin; serta Senior Lecturer/Senior Designer Engineer/Senior Researcher – Department of Design Engineering Technology Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Ismet P. Ilyas dengan moderator Ketua Bidang Kerjasama MASTAN, Djoko Wiyono.

“Dengan saling bertukar informasi antara peserta seminar dan panelis, akan terumuskan masalah-masalah, serta alternatif solusi yang ini akan disampaikan kepada kementerian terkait, sebagai masukkan dalam menyusun kebijakan pemerintah sehingga Program Nawacita khususnya meningkatkan daya saing industri logam dan mesin, dapat tercapai,” kata Supandi. (dnw,nda)




­