Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Konservasi Energi Dengan Menerapkan SNI ISO 50001

  • Senin, 17 April 2017
  • 9779 kali

Tingkat produksi listrik di Indonesia, termasuk yang terendah dibanding negara-negara lain di ASEAN. Padahal, di Indonesia terdapat sumber daya energi yang berlimpah. Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai satu-satunya standar yang berlaku nasional di Indonesia tentunya diharapkan dapat menjadi solusi dan jalan keluar untuk masalah tersebut. Maka, untuk meningkatkan penerapan SNI bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT), serta meningkatkan penerapan Sistem Manajemen Energi SNI ISO 50001, Badan Standardisasi Nasional (BSN) mengadakan sosialisasi SNI Energi Baru dan Terbarukan (EBT) kepada para stakeholder dari kalangan industri dan pelaku usaha di Hotel Menara Peninsula pada Rabu, 29 Maret 2017.

 

“Standardisasi merupakan ranah semua komponen bangsa, baik perusahaan, perguruan tinggi, industri, masyarakat, semua tidak bisa dilepaskan dari standardisasi dan penilaian kesesuaian, ujar Kepala BSN, Bambang Prasetya dalam sambutannya. Maka, sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian, BSN mendukung kementerian-kementerian lain, termasuk kementerian ESDM dalam pengembangan energi baru dan terbarukan. 

 

"Untuk mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia, saat ini sudah tersedia 20 SNI sumber energi air, 19 SNI sumber energi surya, 11 SNI sumber energi panas bumi, 9 SNI sumber energi daya angin, 7 SNI sumber energi biofuel, dan 4 SNI sumber energi nuklir," ujar Bambang.

 

Energi merupakan kebutuhan dasar manusia. Perbaikan kinerja energi membantu perusahaan memaksimalkan penggunaan sumber energi dan aset terkait energi sehingga dapat mengurangi konsumsi energi dan biaya. Untuk mendukung perbaikan kinerja energi, saat ini BSN sudah menetapkan SNI ISO 50001: Sistem Manajemen Energi. “SNI ini memiliki banyak manfaat, diantaranya untuk mengembangkan kebijakan penggunaan energi lebih efisien; menetapkan tujuan dan target sejalan dengan kebijakan; menggunakan data untuk membuat keputusan objektif mengenai pemanfaatan energi; mengukur hasil untuk mengidentifikasi area perbaikan efisiensi energi; mereview kebijakan keefektifan dan hasil dari perbaikan efisiensi energi; serta menerapkan perbaikan berkesinambungan dalam praktek manajemen energi,” jelas Bambang.

 

Perkembangan teknologi EBT terus meningkat dan tersedia di pasaran dengan kualitas produk yang bervariasi. Penting untuk menjamin kualitas produk komponen dan sistem PLT EBT sesuai standar nasional maupun internasional, mulai dari tahapan produksi, handling, transportasi, instalasi dan operasi. “Maka, untuk melindungi konsumen dan menjamin kualitas produk sistem teknologi PLT EBT, diperlukan suatu infrastruktur kualitas di bidang EBT, melalui standardisasi, penilaian kesesuaian dan juga metrologi,” ujar Anggota Panitia Teknis (PT) 27-03 Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Oo Abdul Rosyid yang menjadi salah satu narasumber dalam acara ini.

 

PT 27-03 yang dibentuk dan ditetapkan BSN di EBTKE, beranggotakan para ahli dan mewakili pihak yang berkepentingan, telah melakukan perumusan Rancangan SNI (RSNI) dan pemeliharaan SNI di bidang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT). Panitia Teknis 27-03 Aneka Energi Terbarukan, terdiri dari Klaster energi Angin, Klaster energi Hydro, Klaster energi Surya, dan Klaster Batubara Tergaskan.

 

Salah satu SNI terkait EBT klaster energi surya adalah tentang Fotovoltaik. “Mengingat sudah banyaknya produsen modul Fotovoltaik yang siap berkompetisi di pasar nasional maupun internasional, maka SNI IEC 61215:2005-04: Modul fotovoltaik silikon kristal – Kualifikasi disain dan pengesahan jenis, akan segera diwajibkan,” ujar Abdul. Namun, lanjutnya, pelaksanaannya tertunda karena Lab uji sesuai dengan SNI tersebut belum tersedia.

 

Abdul juga berharap segera tersedia lembaga sertifikasi dan lembaga inspeksi bidang EBT. “Tentunya, untuk mendukung penerapan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga EBT agar menghasilkan produk dan sistem yang berkualitas juga diperlukan Lembaga Sertifikasi dan Lembaga Inspeksi Bidang EBT, yang saat ini belum ada,” ujarnya.

 

Dalam kesempatan ini, pakar di bidang sistem manajemen energi yang juga seorang Koordinator proyek nasional United Nations Industrial Development Organization, Aris Ika Nugrahanto juga memaparkan kondisi Indonesia saat ini. menurutnya, ketahanan energi berbanding lurus dengan ketahanan social dan keadilan sosial. “Namun kenyataannya, masih ada 30 juta penduduk Indonesia yang belum menkmati listrik,” ujarnya.

 

Aris menyampaikan bahwa ditengah kebutuhan energi yang semakin meningkat, konsumsi energi di industri Indonesia masih boros. Padahal, biaya energi cukup signifikan terhadap cost of good sold. “Ditengah krisis ekonomi yang menyulitkan perusahaan untuk menaikkan margin keuntungan, maka menghemat energi menjadi opsi yang menarik,” jelasnya.

 

Berdasarkan PP No70/2009 tentang konservasi energi, pengguna energi minimal 6000 TOE wajib melakukan manajemen energi, yaitu menunjuk manajer energi, melaksanakan audit energi secara berkala, melaksanakan rekomendasi hasil audit energi, dan melaporkan pelaksanaan konservasi energi setiap tahun. Maka, penerapan SNI ISO 50001 sangat tepat sebagai pelaksanaan PP No.70/2009.

 

Ada 3 langkah dalam menerapkan SNI ISO 50001. Langkah pertama yang dilakukan ialah memastikan top manajemen berkomitmen tinggi untuk melakukan perubahan ini. Selanjutnya ialah melakukan energi review untuk melihat konsumsi energi  Langkah ketiga ialah melakukan Operational Control yang bermaksud untuk mendata dan mengontrol konsumsi listrik selama waktu produksi, setelah itu baru bisa dilakukan Monitoring and Measurement untuk melihat hasil yang telah dilakukan pra dan pasca penerapan SNI ISO 50001. (ald-Humas)