Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

BSN Dukung Inovasi Berbasis Standar

  • Rabu, 28 Desember 2016
  • 2104 kali

 

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah diberlakukan sejak 1 Januari 2016. Tentunya hal ini berdampak pada kegiatan perdagangan antar Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Tantangan yang dihadapi saat ini bukan hanya dari persaingan harga, tapi lebih kepada mutu, kualitas. Hal ini berkaitan erat dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.


Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, BSN bersama-sama stakeholder semakin memantapkan diri merebut peluang MEA melalui berbagai program strategis yang tertuang di dalam Renstra BSN 2015 – 2019. Dengan adanya Undang-Undang tersebut, BSN mewakili Indonesia juga bisa memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi perdagangan global di berbagai forum internasional.


“Untuk merebut peluang MEA, mau tidak mau kita harus mampu melakukan harmonisasi standard yang disepakati oleh Negara-negara ASEAN, tentunya yang mengacu standar internasional,” ujar Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar BSN, Zakiyah dalam wawancara khusus dengan jurnalis Koran Jakarta, Nanik Ismawati di kantor BSN, pada 28 Desember 2016.


Harmonisasi standar dalam Rangka MEA itu sendiri dilakukan secara bertahap berdasarkan 12 sektor prioritas yang telah disepakati oleh para pemimpin ASEAN dan disepakati dalam ASEAN Economic Community Blueprint. 12 sektor tersebut adalah jasa kesehatan, jasa penerbangan, jasa pariwisata, teknologi informasi dan komunikasi (e-ASEAN), jasa logistic, karet dan produk karet, tekstil dan produk tekstil, otomotif, perikanan, produk berbasis agro, produk berbasis kayu, serta elektronika dan kelistrikan.


“Sebagai produsen, harusnya mau tidak mau dia menangkap isu-isu bukan hanya internal, tapi juga eksternal. Misalnya isu-isu di perdagangan, serta tekanan pasar. Kemudian, kalau kita berbicara harmonisasi, kita bicara bahwa SNI sudah sesuai dengan standar internasional, yang mana merupakan persyaratan terendah,” ujarnya.


Terkait dengan animo masyarakat dalam menerapkan SNI, Zakiyah berpendapat memang saat ini yang lebih concern dalam menerapkan SNI adalah pelaku usaha kelas menengah ke atas, sedangkan UMK agak lambat dalam menerapkan SNI. Zakiyah menyayangkan hal tersebut. “Wirausahawan pemula jarang sekali mencari standar, hanya trial and error. Padahal seharusnya sejak pemula sudah punya mindset pentingnya standar dalam berinovasi," sesal Zakiyah.


Menyikapi fenomena tersebut, BSN telah mengambil langkah strategis, yaitu dengan menjalin kerja sama dengan pihak universitas untuk memfasilitasi kemudahan akses SNI. “Kami menyediakan SNI Corner di beberapa universitas yang telah menjalin nota kesepahaman dengan kami. Di SNI Corner tersebut, para mahasiswa dapat mengakses data/informasi SNI dengan mudah. Selain layanan online, dalam SNI Corner disediakan pula dokumen-dokumen SNI yang dapat dijadikan acuan dalam berinovasi,” jelas Zakiyah.


Sejauh ini, tanggapan mahasiswa terhadap adanya SNI Corner di lingkungan kampus cukup baik. Hal ini terlihat dari makin banyaknya penelitian maupun tugas akhir yang mencantumkan dokumen SNI sebagai acuan. Diharapkan, ke depannya seluruh wirausahawan menjadikan SNI sebagai acuan inovasi. (ald-Humas)

 




­