Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Memahami SNI Jadi Kunci

  • Senin, 02 Mei 2016
  • 4701 kali

 

Daerah perbatasan negara jiran adalah palagan komoditas. Di sini, tak terelakkan adu kualitas. Yang tak sanggup bersaing, akan tersingkirkan. Konsumen dituntut jeli dan teliti sebelum membeli. Lantaran segala yang berlabel impor tidak selalu bikin puas.

 

FATIH MUFTIH, Bintan


Usai mencuci mobil pribadinya, Hardieka tercenung. Lajang 25 tahun itu meninggung. Tangan kanannya berulang kali mengusapi ban depan sebelah kiri. Setiap kali usapan genap seputaran kepalanya geleng-geleng. Ada yang tak mengena dalam hatinya.

“Kok sudah tipis ya bannya,” gumamnya.

 

Ia mengaku belum sampai tiga bulan yang lalu mengganti ban depan mobilnya. Di sebuah kios ban mobil bekas, sepasang di bagian depan langsung diganti. Lantaran ban bawaan sebelumnya sudah tipis. Terlalu bahaya bila terus-terusan dipaksakan di jalan. Hardieka emoh menanggung risiko yang bisa saja menyebabkan mobilnya selip. Apalagi, di Bintan hujan kerap turun tak menentu.

 

Tanpa berpikir dua kali dan sebab baru saja menerima gaji, pegawai honorer di sebuah kantor desa itu mengganti ban mobilnya. Sepasang sekaligus. Alih-alih membawa ke diler resmi, Hardieka mengatakan, ia menuju kios ban mobil bekas yang ada.

 

Berdasarkan penuturan temannya, di kios tersebut menyediakan ban mobil bekas asal Singapura. Kondisi luaran bannya cenderung lebih halus ketimbang ban lokal. Belum lagi, harganya yang jauh lebih miring jadi pertimbangan tersendiri. Hardieka seketika percaya perkataan temannya.

 

“Benar kok kata temanku itu. Bannya memang lebih halus,” kata Hardieka.

 

Sepasang ban depan mobil pun diganti. Orang tua Hardieka pun tidak keberatan dengan pilihan anaknya. Karena secara fisik, tidak dapat disangsikan kontur ban karet bekas asal negara jiran itu boleh bersaing dengan kualitas ban lokal yang masih baru.

 

Mobil Hardieka kembali melaju. Membawanya ke tempat kerja. Menjadi tumpangan liburan keluarganya. Kadang-kadang mesti melewati kondisi jalan berlubang. Tak jarang pula ketika mengunjungi sanak famili menempuh jalanan berbatu. Semuanya beres. Seluruh jalan diterabas. Tidak pernah sekali pun terjadi selip yang berujung kecelakaan, sebagaimana yang sebelumnya ditakutkan. Tentu saja, maklum, baru ganti ban impor walau bekas.

 

Sekonyong-konyong, perasaan girang memakai ban impor seketika sirna setelah Hardieka mencuci mobilnya. Ketika menggosok ban depan, permukaannya sudah menipis. Licin. Tidak terlihat lagi guratan bunganya. “Padahal kan belum tiga bulan. Cepat banget ya tipisnya,” keluhnya, “dan ini kan ban dari Singapura. Kok begini sih.”

 

Gara-gara ini, Hardieka terpaksa membedal tabungannya. Sayangnya, jumlah uang yang tersimpan masih belum cukup untuk kembali mengganti sepasang ban depan. Apalagi, dua ban di belakang kini juga sudah ikut menipis.

 

Hardieka tidak punya banyak pilihan. Sembari menanti pundi tabungannya cukup untuk membeli empat ban baru, ia memilih memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Tidak mau bertaruh dengan memaksa membawanya, baik untuk kerja apalagi sekadar bertamasya.

 

“Terlalu berisiko. Sudah licin ini. Nanti kalau bannya sudah ganti, baru dibawa lagi,” ujarnya.

 

Pilihan yang tidak mengena di hati itu yang membuatnya risau. Betapa perkataan temannya tentang ban mobil bekas dari Singapura tidak sejalan dengan kualitasnya di lapangan. Bila hanya diukur dari kondisi permukaan ban yang lebih halus, Hardieka sama sekali tidak menyangsikan. Tapi soal ketahanan, Hardieka heran bukan kepalang.

 

“Katanya bagus, tapi gak tahan lama. Menyesal juga,” ungkapnya.

 

Sesal yang kini jadi tak berarti. Ban sudah habis terpakai dan uang tak mungkin kembali. Hardieka hanya tinggal bisa pasrah menanti rekening tabungannya terisi. Menunggu hingga akhir bulan menerima gaji. Namun, sebenarnya apa yang telah terjadi?

 

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Bintan, Setia Kurniawan punya jawabannya. “Ya itu, gara-gara berpikir kalau segala yang impor itu bagus, jadinya begitu,” kata pria yang akrab dipanggil Iwan ini.

 

Berpikir, kata Iwan, adalah indikasi seorang manusia cerdas. Berpikir sebelum berbuat menunjukkan kecerdasan seseorang. Ada analisa di sana. Ada pertimbangan. Ada putusan bulat yang disertai alasan-alasan di balik mengiyakan pilihan atau menolaknya. Karena itu, Iwan menegaskan, konsep konsumen cerdas yang digagas Kementerian Perdagangan RI punya jargon teliti sebelum membeli.

 

“Orang yang teliti, selalu berhati-hati. Tidak sembrono dan gegabah. Apalagi dalam membeli,” ucapnya.

 

Persoalan yang membelit Hardieka, sepengalaman Iwan menangani polemik perdagangan, adalah satu dari sekian ribu. Kata dia, masih banyak kasus serupa yang kerap terjadi. Kejadian-kejadian yang cenderung membuat konsumen dirugikan. Terlebih di Bintan, daerah yang berbataskan dengan negara jiran Malaysia dan Singapura.

 

Tidak ada pilihan lain bagi konsumen di daerah perbatasan, kata Iwan, kecuali meningkatkan pemahamannya mengenai kualitas barang-barang impor. Mengingat arus lalu-lintas barang di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah sedemikian terbuka. Membuat segala komoditi dagang bisa masuk lebih leluasa. Belum lagi ditunjang dengan pemberlakuan aturan zona perdagangan bebas (Free Trade Zone). Iwan tak menyangsikan Bintan sebagai palagan peraduan kualitas barang dalam negeri dan barang impor.

 

“Di tengah kondisi semacam ini, konsumen harus jeli. Sangat harus malahan,” tegas Iwan.

 

Bukankah sukar untuk mengenali kualitas masing-masing barang impor yang masuk? Itemnya barangkali ribuan. Jenisnya bukan sekadar ban mobil bekas. Ada makanan, minuman, pakaian, besi, mainan, dan banyak lagi jenisnya. Tapi, Iwan punya cara untuk melihat kontestasi ini menjadi lebih sederhana.

 

“Kuncinya, masyarakat harus bisa memahami apa itu Standar Nasional Indonesia (SNI),” ungkapnya, “Selama ini, masyarakat awam lebih kenal SNI sebagai bagian dari helm saja. Padahal, sangat jauh melampaui itu semua.”

 

Mengutip Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional, SNI adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan berlaku secara nasional.

 

Iwan menjelaskan, SNI adalah aturan utama setiap komoditas dagang yang masuk ke Indonesia. Termasuk pula di kawasan perdagangan bebas. “Yang harus diingat, SNI ini mutlak. Kalau di daerah FTZ itu, setiap barang yang masuk hanya gugur pajaknya. Standarnya tetap dong harus ikut SNI,” terangnya.

 

Menilik kasus yang dialami Hardieka, Iwan ingin mengingatkan bahwa ban mobil bekas yang masuk dari negara jiran itu memang benar lebih halus kualitasnya. Hanya saja ada satu yang terlupakan. Ban bekas dari Singapura atau Malaysia itu, kata Iwan, diproduksi mengacu kondisi mutakhir jalanan di negara asalnya.

 

“Meski lebih halus, ban bekas itu tidak bisa digunakan di Indonesia. Karena standarnya beda. Ban di Singapura ya diproduksi pakai standar Singapura. Yang kita semua tahu, kondisi aspal Singapura saat berbeda dengan Indonesia. Karena beda standar baku, ketika dipakai di jalanan Bintan ya tentu ban itu cepat habis,” jelas Iwan.

 

Iwan menambahkan, sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 68/2014 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI), ban termasuk komoditi yang wajib berlabel SNI. Sehingga ketika yang digunakan sehari-hari bukan ban yang sesuai standarnya, tentu daya tahannya berbeda. Bahkan bisa berujung bahaya.

 

“Asal tahu saja, standar Indonesia tentang ban itu tertinggi di dunia. Kenapa? Ya sudah tentu karena melihat kondisi jalanan yang ada,” ungkap Iwan.

 

Kecenderungan masyarakat di daerah perbatasan yang lebih menggemari ban bekas impor ini adalah sesat pikir karena tidak memahami definisi dan fungsi SNI, yang ingin menjamin kepuasan serta keselamatan konsumen. Iwan sepakat dengan itu. Pola pikir tentang SNI adalah kunci untuk menjadi konsumen cerdas di daerah perbatasan sekaligus antisipasi pemberlakuan MEA yang menabuh genderang pasar bebas.

 

Sejauh ini, saban tahun, Kementerian Perdagangan RI melalui dinas-dinas perdagangan yang ada di derah senantiasa menggelar sosialisasi mengenai SNI. Kata Iwan, sosialisasi ini sifatnya wajib. Sehingga tak mungkin tidak untuk meniadakan kegiatan ini barang sekali sepanjang tahun. Akan tetapi, Iwan tidak memungkiri, semangat tinggi Kemendag RI mewujudkan gerakan konsumen cerdas tidak sejalan di lapangan. “Masih sangat banyak orang yang ambil sepele soal SNI. Padahal ini penting banget,” kata Iwan.

 

Karena tanpa pemahaman SNI yang baik, Iwan menilai, masyarakat akan menelan mentah-mentah paradigma bahwasanya yang impor itu pasti berkualitas, bagus, dan sarat gengsi. Yang padahal  pada tataran kenyataannya bisa berbanding terbalik 360 derajat. Alhasil, malah merugikan konsumen.

 

“Ingat lho,” sergah Iwan, “kasus salah pilih ban ini hanya contoh kecil. Ini baru satu barang saja. Padahal yang masuk impor di area perbatasan ini kan sangat banyak jenis barangnya.”

 

Peringatan Iwan ini seharusnya membuat seluruh konsumen di perbatasan makin mawas diri. Makin teliti sebelum membeli. Mempertimbangkan SNI sebagai tolok banding utama. Upaya sederhana ini juga bakal meningkatkan kedaulatan Indonesia di wilayah tersendiri, dengan tidak terlalu percaya pada segala-segala yang berlabel impor.

 

“Konsumen cerdas tidak berpikir gengsi. Karena mereka selalu teliti sebelum membeli dan membeli sesuai kebutuhan. Kalau produk dalam negeri sudah berdaya saing dan kualitasnya terbukti, mengapa kita masih berpaling,” kata Iwan. Sebuah ingatan penting yang mesti dicatat besar-besar.

 

Lalu bagaimana nasib Hardieka? Kepada Batam Pos, ia menyatakan bulan depan baru akan mengganti ban depan mobilnya. Akankah kembali pakai ban bekas Singapura? Ditanya sedemikian, Hardieka cekatan menggeleng.

“Kapok deh kapok. Gak lagi. Mending beli yang labelnya SNI. Lebih terjamin,” jawabnya.

Nah itu tahu!***

 

Link berita:  http://batampos.co.id/2016/04/30/memahami-sni-jadi-kunci/




­