Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Sukseskan Reformasi Birokrasi, BSN Gelar Sosialisasi Perka BSN dan SE Menteri PAN RB

  • Jumat, 12 Juni 2015
  • 1602 kali

 

Dalam rangka melaksanakan salah satu agenda prioritas BSN yaitu pelaksanaan reformasi birokrasi, Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyelenggarakan Sosialisasi Peraturan Kepala BSN (Perka BSN) dan Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (SE Menteri PAN RB) pada Jumat, 12 Juni 2015 di Ruang Auditorium Gedung BPPT II, Jakarta. Perka BSN yang dimaksud adalah Perka BSN Sistem Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan BSN, Perka BSN No.5 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Pelaporan Pelanggaran, Perka BSN No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan di Lingkungan BSN, serta Perka BSN No. 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat. Sedangkan surat edaran yang dimaksud ialah SE Menteri PAN RB No. 1 Tahun 2015 tentang Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN).

 

Kegiatan ini diikuti oleh seluruh pegawai BSN, yang menghadirkan pembicara Sekretaris Utama BSN Puji Winarni, Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi BSN Kukuh S.A., Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Konny Sagala, Kepala Pusat Pendidikan dan Pemasyarakatan Standardisasi BSN Metrawinda Tunus, serta Auditor Madya Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Bagus Sunjoyo.

 

Sosialisasi dibuka secara resmi oleh Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi BSN Kukuh S.A, mewakili Kepala BSN Bambang Prasetya. Bambang dalam sambutannya yang dibacakan Kukuh S.A, mengatakan, dengan mengambil momentum sosialisasi Perka BSN dan SE Menpan RB ini, ditujukan untuk meningkatkan pelaksanaan reformasi birokrasi BSN tahun ini agar lebih baik dibandingkan tahun lalu. Selain itu, kegiatan ini menjadi langkah nyata BSN untuk berkomitmen terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN dan Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang menuntut ASN untuk lebih profesional.

 

Puji Winarni, dalam paparannya mengenai Perka BSN tentang Sistem Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan BSN mengungkapkan, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Bentuk-bentuk gratifikasi ini meliputi pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam maupun luar negeri dan dilakukan dengan atau tanpa menggunakan sarana elektronik. Namun tidak semua bentuk gratifikasi bisa dikategorikan sebagai suap.

 

Walaupun demikian, dalam peraturan ini, jika seseorang menerima sesuatu baik gratifikasi yang dianggap suap atau tidak, pegawai harus tetap melaporkan. “Bagaimana kita melaporkan? Ada mekanisme bahwa kita semua wajib melaporkan semua bentuk penerimaan gratifikasi kepada Inspektorat. Selanjutnya, laporan gratifikasi akan disampaikan Sekretaris Utama kepada KPK,” jelas Puji.

 

Selanjutnya, untuk dugaan tindak pidana korupsi, mekanisme pelaporannya telah diatur dalam Perka BSN No. 5 Tahun 2014. Kukuh menjelaskan, sesuai Perka tersebut, sistem pelaporan pelanggaran adalah mekanisme penyampaian pelaporan dugaan tindak pidana korupsi yang telah terjadi atau akan terjadi. Pelapor adalah Pegawai BSN atau pihak terkait lainnya. Pegawai BSN yang dimaksud ialah PNS dan CPNS, PTTP, tenaga lainnya termasuk tenaga rekanan di lingkungan BSN. Laporan ini dapat disampaikan secara langsung melalui surat, telpon, kotak pengaduan, surat elektronik dan/atau faksimile.

 

Laporan tersebut selanjutnya akan diterima dan ditindaklanjuti oleh Tim Penerima Pelaporan Pelanggaran (TPPP). “Tim ini terdiri dari Penanggung jawab (Kepala BSN), Ketua (Kepala Inspektorat), Anggota (Kepala Biro HOH dan Kepala Biro PKT) serta Sekretariat (Inspektorat),” kata Kukuh. Setelah laporan tersebut dikaji, TPPP dapat memberikan rekomendasi berupa penjatuhan hukuman disiplin, pengembalian kerugian Negara dan/atau penyampaian ke aparat penegak hukum jika ada indikasi tindak pidana.

 

Sementara itu, dalam rangka menuju tata kelola pemerintahan yang bebas KKN, diperlukan suatu kondisi yang bebas dari benturan kepentingan. Berdasar pertimbangan tersebut, maka lahirlah Perka BSN No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan di Lingkungan BSN. Konny Sagala menuturkan, pemahaman yang tidak seragam mengenai benturan kepentingan menimbulkan penafsiran yang beragam dan berpengaruh pada kinerja pegawai.

 

Dalam Perka BSN ini, lanjut Konny, benturan kepentingan didefinisikan sebagai situasi yang memiliki atau patut diduga memiliki pengaruh kepentingan pribadi/golongan/pihak lain terhadap kualitas keputusan dan/atau tindakan pegawai BSN sesuai dengan kewenangannya. Ada berbagai bentuk benturan kepentingan. Beberapa diantaranya ialah situasi yang menyebabkan Pegawai BSN menerima gratifikasi atau pemberian/ penerimaan hadiah atas suatu keputusan/jabatannya, situasi yang menyebabkan Pegawai BSN menggunakan aset jabatan untuk kepentingan pribadi/golongan, situasi yang menyebabkan Pegawai BSN menggunakan informasi rahasia jabatan untuk kepentingan pribadi/golongan, dan situasi yang menyebabkan Pegawai BSN memberikan akses khusus kepada pihak tertentu tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya.

 

Sedangkan jenis benturan kepentingan antara lain kebijakan dari Pegawai BSN yang berpihak akibat akibat pengaruh hubungan dekat, ketergantungan, dan/atau pemberian gratifikasi; pegawai BSN merangkap jabatan pada Pemangku Kepentingan  dan/atau perusahaan/institusi lain yang mempunyai kepentingan dan/atau menimbulkan benturan kepentingan dengan BSN; penerimaan dan/atau pengangkatan Pegawai BSN  berdasarkan hubungan dekat/balas jasa/rekomendasi/pengaruh dari pejabat pemerintah; serta pegawai BSN menggunakan aset & informasi rahasia untuk kepentingan pribadi.

 

Lalu bagaimana langkah yang bisa dilakukan untuk menangani benturan kepentingan? Pegawai BSN yang terkait dengan pengambilan keputusan wajib melaporkan atau memberikan keterangan  adanya dugaan benturan kepentingan dalam menetapkan keputusan  dan/atau tindakan. Laporan atau keterangan tersebut  disampaikan kepada atasan langsung Pegawai BSN  pengambil keputusan  dengan mencantumkan identitas jelas pelapor  dan melampirkan bukti-bukti. Selanjutnya atasan langsung akan memeriksa tentang kebenaran laporan paling lambat 3 hari kerja untuk ditindaklanjuti.

 

“Jangan karena ada benturan kepentingan, keputusan yang diambil tidak netral. Dengan adanya Perka ini, kita coba jangan sampai kepentingan pribadi mempegaruhi profesionalitas pekerjaan kita,” ungkap Konny. Karena itu seluruh pegawai BSN dituntut untuk memiliki komitmen dan keteladanan dalam menggunakan kewenangannya secara baik.

 

Selain mewadahi pengaduan dari dalam internal organisasi, BSN juga menerima pengaduan yang berasal dari masyarakat. Melalui Perka BSN Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat, seluruh laporan yang bersumber dari masyarakat akan ditindaklanjuti. Metrawinda Tunus menjelaskan, ruang lingkup pengaduan ini meliputi penyalahgunaan wewenang, pelayanan publik, kepegawaian, tata laksana dan regulasi. Pengaduan masyarakat yang masuk kemudian dikelompokkan, apakah berkadar pengawasan, tidak berkadar pengawasan, substansi tidak logis, atau substansial bukan kewenangan BSN.

 

 

Ada dua tata cara pengaduan masyarakat, yaitu secara tertulis langsung atau melalui surat elektronik kepada Inspektorat BSN. Pengaduan masyarakat ini selanjutnya akan dikelola secara terpadu oleh Inspektorat BSN. Setelah ditelaah, Inspektorat dapat menindaklanjutinya dengan melakukan klarifikasi, konfirmasi, penelitian, dan pemeriksaan. “Jangan takut melaporkan sesuatu yang tidak pada tempatnya,” pesan Metrawinda.

 

Dalam kesempatan ini, Bagus Sunjoyo memaparkan tentang SE Menteri PAN RB No. 1 Tahun 2015 tentang Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara. Peraturan ini lahir sebagai upaya untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme, mencegah penyalahgunaan wewenang, bentuk transparansi aparatur sipil negara dan penguatan integritas aparatur.

 

Bagus mengungkapkan, muatan Surat Edaran ini ialah pimpinan instansi pemerintah untuk menetapkan  kebijakan yang mengatur beberapa hal yakni menetapkan pejabat wajib lapor LHKPN  (memangku jabatan strategis dan rawan  KKN, para pengelola anggaran dan panitiapengadaan barang dan jasa) untuk menyampaikan LHKPN  kepada KPK; menetapkan wajib lapor bagi seluruh pegawai ASN yang tidak wajib LHKPN  secara bertahap dan dimulai dari pejabat setingkat Eselon III, IV dan V, untuk menyampaikan LHKASN; menugaskan APIP untuk mengelola LHKASN (memonitor kepatuhan, koordinasi pelaksanaan,  verifikasi dan klarifikasi, pemeriksaan dengan tujuan tertentu,  menyampaikan laporan pelaksanaan) ; peninjauan kembali (penundaan/pembatalan) pengangkatan wajib iapor LHKASN dalam jabatan struktural/fungsional, apabila yang bersangkutan tidak memenuhi kewajiban penyampaian LHKASN Peninjauan kembali jabatan dan sanksi  jika tidak memenuhi ketentuan ini; serta pemberian sanksi sesuai peraturan perundang-undangan kepada  Wajib Lapor yang tidak mematuhi kewajiban  &   pejabat APIP yang  membocorkan  informasi.

 

LHKASN sendiri, lanjut Bagus, memiliki pengertian sebagai daftar seluruh harta kekayaan ASN beserta pasangan dan anak yang masih menjadi tanggungan, yang dituangkan dalam Formulir LHKASN yang telah ditetapkan Menteri PANRB. “Secara bertahap, ke depan seluruh pegawai dalam pengertian ASN wajib melaporkan harta kekayaannya,” Bagus menandaskan. (ria/foto:put)