Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Perlunya akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal untuk memastikan kompetensi, independensi, dan imparsialitas

  • Selasa, 16 Desember 2014
  • 2329 kali

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) di sahkan pada tanggal 25 September 2014. UU ini merupakan payung hukum yang diharapkan dapat menjadi pegangan untuk melindungi umat terhadap ketersediaan produk halal. Namun demikian, dinilai masih belum mampu menyerap aspirasi ulama dan umat Islam Indonesia. Demikian diungkapkan Direktur Lembaga Pengawasan Pangan Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), Lukmanul Hakim dalam Seminar Nasional Halal dan Focus Group Discussion (FGD) UU Nomor 33 tentang JPH di Universitas Djuanda, Ciawi – Bogor, Jawa Barat pada Senin (15/12/2014).

Sebagai contoh, dalam UU tersebut, alur sertifikasi halal menjadi rumit, dikarenakan prosesnya teridentifikasi menjadi 10 (sepuluh) tahap. Padahal, prosedur sertifikasi halal sekurang-kurangnya diatur sebagai berikut yakni pertama, pendaftaran sertifikasi halal oleh Pelaku Usaha langsung ke LPH dengan tembusan ke BPJPH. Kedua, sebelum hasil pemeriksaan Auditor disidangkan dalam Sidang Fatwa MUI, harus di presentasikan dalan Sidang Auditor Halal MUI.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Standardisasi Nasional  (BSN) Prof. Bambang Prasetya yang juga menjadi narasumber dalam Seminar mengatakan penting untuk mengadopsi rekomendasi The Standard and Metrology Institutes for Islamic Countries (SMIIC) untuk memfasilitasi daya saing produk HALAL. 

Pengembangan sistem standardisasi dan penilaian kesesuaian Halal di tingkat internasional dilakukan oleh the SMIIC, yang merupakan organisasi kerjasama antar lembaga standardisasi, lembaga metrologi, dan lembaga akreditasi dari negara anggota Organization of Islamic Conference (OIC). BSN dan Komite Akreditasi Nasional (KAN) mewakili pemerintah Indonesia dalam SMIIC, dan diminta untuk menjadi anggota SC on MLA.  Adapun, SMIIC telah merumuskan dan menetapkan standar yang berkaitan dengan jaminan produk halal. Yakni OIC/SMIIC 1: 2011 : General Guidelines on Halal Food (with the references of CODEX, ISO 22000, ISO 22005 + Islamic Fiqh Rules); OIC/SMIIC 2: 2011 : Guidelines for Bodies Providing Halal Certification (Adapted from ISO/IEC Guide 65, ISO/IEC 17021, ISO/TS 23000); dan OIC/SMIIC 3: 2011 : Guidelines for The Halal Accreditation Body Accrediting Halal Certification Bodies (Adapted from ISO/IEC 17011).

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman juga menilai UU Jaminan Produk Halal (JPH) Nomor 33 tahun 2014 sulit diimplementasikan serta berpotensi  menimbulkan konflik dengan undang-undang lain. Seperti Undang-undang Nomor 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) dan Undang-undang  Nomor 8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen. 

 



Dalam UU SPK disebutkan yang berhak mengakreditasi lembaga untuk standar yaitu KAN. Namun, dalam UU JPH disebutkan yang berhak melakukan akreditasi yakni Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). 

Dalam pemaparan Bambang Prasetya menyebutkan akreditasi yang dilakukan oleh KAN, telah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Sebab, KAN telah menandatangani MRA (Mutual Recognation Arrangement) dengan APLAC/ILAC (Asia Pasific Laboratory Accrediation Cooperation/International Laboratory Accreditation Cooperation) dan MLA (Multilateral Laboratory Agreement) dengan IAF/PAC  (International Accreditation Forum/Pacific Accreditation Cooperation). 

 

Terkait kegiatan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian dalam UU JPH menurut Bambang diperlukan 1 (satu) Standar Nasional tentang Halal untuk menjaga kesatuan umat; pengujian Produk Halal dimana diperlukan laboratorium uji yang kompeten; perlunya sistem sertifikasi halal untuk memberikan kepercayaan kepada umat tentang kehalalan produk (SNI ISO/IEC 17021, SNI ISO 22000 dan SNI ISO/IEC 17065); perlunya akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal  untuk memastikan kompetensi, independensi, dan imparsialitas pelaksanaan proses sertifikasi oleh Lembaga Pemeriksa Halal (SNI ISO/IEC 17011); serta perlunya sertifikasi Auditor halal untuk memastikan kompetensi auditor yang bekerja untuk Lembaga Pemeriksa Halal berdasarkan persyaratan kompetensi lembaga sertifikasi personel (SNI ISO/IEC 17024).

 

Untuk itu,  Bambang mengusulkan sinergi UU SPK dan UU JPH dalam sistem akreditasi dan sertifikasi halal dan kronologis kerjasama nasional pengembangan sistem jaminan produk halal.

Melalui Seminar Nasional Halal dan FGD yang dibuka oleh Rektor UNIDA Martin Roestamy diharapkan dapat melihat secara komprehensif terkait UU Jaminan Produk Halal ditinjau dari perspektif bisnis, birokrasi dan perlindungan konsumen serta mendorong penerapan halal pada usaha mikro, kecil, dan menengah di Jawa Barat.

 



Dalam acara juga dilaunching program Pasca Sarjana Ilmu Pangan Halal dan Halal Science Center UNIDA. Turut hadir sebagai narasumber adalah Deputi Bidang Inspeksi dan Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Mutia, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, serta Kepala Bidang Akreditasi Produk, Pelatihan dan Personel BSN, Donny Purnomo. (nda/ipt/dnw/ndre)