Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Pemilik sertifikat RSPO masih minim

  • Jumat, 03 Juli 2009
  • 4754 kali
CPO Indonesia terancam tidak laku

Kliping Berita

PEKANBARU: Pasar crude palm oil (CPO) di Uni Eropa mengutamakan produk yang memiliki sertifikat RSPO, tetapi di Indonesia, perusahaan yang mengantongi sertifikat itu masih minim (3 perusahaan).


Ketua Bidang Budidaya dan Industri Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Daud Dharsono, mengatakan saat ini negara-negara di Eropa dan Amerika lebih mengedepankan produk yang berkelanjutan.

“Ke depan, produk-produk yang tersertifikasi lebih mendapat prioritas,” tuturnya pada Workshop Sustainable Palm Oil yang digelar Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) di Pekanbaru, Selasa.

Di Indonesia, baru tiga perusahaan yang termasuk di antara 11 perusahaan kelapa sawit di dunia yang telah memiliki sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Dari tiga perusahaan itu, total CPO yang termasuk produk minyak sawit berkelanjutan (sustainable palm oil/SPO) sekitar 1,7 juta ton, sedangkan total produksi CPO Indonesia sekitar 20 juta ton.

Daud mengatakan minimnya perusahaan industri sawit yang memiliki sertifikat RSPO merugikan kelangsungan ekspor CPO Indonesia. Pasalnya, total produksi CPO Indonesia sudah mencapai 20 juta ton dan mayoritas berorientasi ekspor.

Adapun penggunaan CPO yang diserap untuk keperluan di dalam negeri hanya 5 juta ton. “Kalau hal ini terus dibiarkan, CPO kita tidak bisa bersaing, bahkan bisa tidak laku di pasar dunia," ujarnya.

Kendala umum


Dia mengatakan salah satu kendala umum dari penerapan sertifikasi RSPO di Indonesia adalah mengenai kriteria penanaman sawit di daerah aliran sungai agar ramah lingkungan.

Dalam aturan RSPO, daerah aliran sungai tidak boleh seluruhnya ditanami sawit karena harus berjarak 50 meter dari tepian.

“Hal itu, tampaknya sulit dilakukan karena kondisi di lapangan kebun sawit sudah menjejali hingga pinggiran sungai, apalagi untuk perkebunan rakyat yang menjadi mitra perusahaan,” katanya.

Liaison Officer RSPO Indonesia, Desi Kusumadewi, mengatakan sertifikasi ini dianggap sebagai indikator CPO yang dijual telah melalui tahap evaluasi, sebagai bentuk efisiensi usaha dan produktivitas minyak sawit yang dihasilkan.

“Di dunia, baru 11 perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi RSPO, dan tiga di antaranya perusahaan
Indonesia,” ujarnya.

Dia mengatakan saat ini berbagai perusahaan di dunia mulai menerapkan prinsip dan kriteria RSPO untuk mendapatkan sertifikasi tersebut. Bahkan, meski ini tidak diwajibkan dan hanya bersifat sukarela, perusahaan dan pasar tetap memperhatikan hal ini sejak beberapa waktu lalu.

Ke-11 perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi RSPO tersebut tersebar di tiga negara yakni
Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini (PNG). Saat ini juga terdapat 14 perusahaan yang di audit lembaga sertifikasi independent yang mendapat persetujuan dari RSPO seperti Control Union, SDS dan Sucofindo.

Di Indonesia, baru tiga perusahaan yang sudah mendapat sertifikasi RSPO. Yakni PT Musim Mas di Sorek (Riau) pada 19 Januari 2009, PT Hindoli di Sumatra Selatan pada 26 Februari 2009, sedangkan di Sumatra Utara PT PP London Sumatra pada 30 April 2009.

Perusahaan yang sudah diaudit tetapi belum mendapat sertifikasi di antaranya PT Sime Indo Agro di Kalimantan Barat, PT Bakrie Sumatera Plantation di Kisaran, PT Indotruba Tengah Plantation di Kalteng. Pada 23 Mei dan 12 Juni lalu PT Tunggal Mitra dan PT Berkat Sawit Sejati telah diaudit, terakhir PT Agrowiratama di Sumbar pada 15 Juni 2009.

Laksama Aditya, Direktur Asian Agri, mengatakan sejauh ini perusahaannya tengah melakukan proses menuju mendapatkan RSPO bagi produk CPO. “Saat ini, kita sedang dievaluasi untuk mendapatkan sertifikasi RSPO. Namun, yang terpenting, ada komitmen untuk mengarah ke
sana. Mudah-mudahan bisa cepat hasil evaluasinya,” katanya.

Dia mengatakan untuk mendapatkan sertifikasi RSPO itu hampir sama ketika Asian Agri mendapatkan serifikasi ISO 9000 dan ISO 1400 yang mengarahkan perusahaan untuk kembali menjaga konsistensi dan proses dokumentasi. “Proses dokumentasi ini
kan perlu ditata kembali dan ditertibkan. Ini perlu waktu. Dokumentasi yang tertata itu sangat penting dan menjadi poin pokok yang harus diperhatikan,” jelasnya. (k52) (redaksi@bisnis.co.id)

Sumber : Bisnis
Indonesia, Jum’at 3 Juli 2009 Hal.i6