Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Globalisasi Standar Tanggung Jawab Sosial ISO Masih Sering Dipandang Sebagai Nontariff Barrier

  • Jumat, 05 Juni 2009
  • 3326 kali
Globalisasi diperkuat oleh adanya berbagai standar yang berlaku secara internasional. Salah satu badan standardisasi terkemuka, International Organization for Standardization, telah menghasilkan banyak standar berkaitan dengan pengelolaan organisasi, produk dan aktivitas organisasi.
Dikeluarkannya ISO 26000 tentang Tanggung Jawab Sosial menimbulkan pertanyaan, apakah standar ini akan menguntungkan atau merugikan Indonesia? Jika memang tidak bisa dihindari, bagaimana Indonesia harus mempersiapkan diri?

Pada 2010, ISO ini rencananya akan diresmikan. ISO yang akan dihasilkan ini mencakup segi permasalahan yang begitu luas, yaitu berkaitan dengan bagaimana organisasi yang ada dalam masyarakat mengelola diri dan melakukan interaksi dengan lingkungannya.
ISO 26000 tentang Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility) bergerak dari suatu kumpulan gagasan tentang pengaturan interaksi oleh suatu organisasi–apakah organisasi pemerintah, bisnis, atau sosial-dengan berbagai kelompok di luar dirinya.

Tidak ada angka-angka sebagai batasan dan setiap organisasi hanya diberi arahan bagaimana mengadopsinya sesuai dengan kapasitas organisasi tersebut.
ISO 26000 adalah suatu gagasan yang ambisius tentang kehidupan yang lebih baik bagi lebih banyak kelompok. Tujuan dari standar ini adalah suatu kesejahteraan dan sekaligus keberlanjutan (sustainability). Seperti juga standar internasional lain, standar ini mencerminkan perhatian yang terakumulasi tentang suatu persoalan.

Dalam ISO 26000 terdapat beberapa sektor kesejahteraan yang dianggap penting untuk ditangani yaitu hak asasi manusia, hubungan perburuhan, pengelolaan sumber daya alam, pelaksanaan organisasi yang adil, isu konsumen, dan pengembangan komunitas.
Terdapat sekitar 90 negara dan 40an organisasi internasional atau yang berbasis luas yang terlibat sebagai pemangku kepentingan dalam merumuskan naskah standar. Pada 2008, naskah telah sampai pada tahap committee draft dan telah melalui proses voting. Hasil menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga negara menyuarakan “yes” untuk meningkat pada tahap Draft International Standard.
 
Penilaian atas dokumen
Isi dokumen mencakup berbagai hal mulai dari petunjuk bagaimana suatu organisasi diatur, berkomunikasi dengan kelompok yang terpengaruh oleh keberadaan suatu organisasi (stakeholders), hingga arahan untuk meningkatkan penerapan standar agar apa pun yang dihasilkan organisasi tersebut menyumbang pada kesejahteraan masyarakat.

Dengan membacanya, dapat mendatangkan kesan bahwa bahwa standar ini menginginkan proses yang ideal dan, jika diterapkan, akan membawa perubahan besar dalam peningkatan kesejahteraan.

Adalah menarik bahwa ISO ini telah bergerak melampaui wilayah organisasi bisnis ataupun aktivitas dan produknya ke arah berbagai macam organisasi. Ini dapat dikatakan sebagai suatu upaya gerakan peradaban baru di mana berbagai organisasi diletakkan dalam suatu kerangka sosial. Jika ini berhasil, maka berbagai organisasi dalam derajat tertentu dapat diperbandingkan “tingkat kebaikannya”.

Namun, standar ini merupakan suatu artikulasi dari berbagai pemikiran tentang pengaturan sumber daya publik yang telah berkembang selama ini. Suatu organisasi harus dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip kesetaraan, keterbukaan, akuntabilitas, dan efisiensi sumber daya. Prinsip-prinsip ini lebih merupakan trajektori daripada suatu pemikiran yang telah mengalami pengujian akademis atas suatu permasalahan yang sangat kompleks.

Proses perumusan yang melibatkan di tiap negara para ahli wakil dari enam bidang yaitu buruh, lembaga swadaya masyarakat, industri, lembaga penelitian dan penerapan standar, konsumen, dan pemerintah, mengharuskan kesepakatan dalam prinsip dan penekanan pada isu-isu tertentu. Jika tidak, proses ini tidak mungkin berhasil.

Namun hal ini membawa konsekuensi penyerderhanaan di berbagai segi, antara lain dalam asumsi tentang kondisi tiap sektor di pelbagai negara ataupun hubungan di antara isu satu dengan yang lain. Banyak negara berkembang merasa khawatir bahwa ISO ini akan digunakan sebagai suatu bentuk non tariff barrier terhadap produk negara berkembang. Seberapa jauh hal ini dapat terjadi lebih ditentukan oleh penilaian dunia luar terhadap institusi dan organisasi ekonomi di suatu negara. ISO sendiri telah dinyatakan hanya sebagai arahan di mana suatu pengukuran tidak diberikan. Keragaman dimensi dari organisasi individual diakui, maka hal ini menyukarkan penilaian gamblang dari pihak lain.

Seperti ISO lainnya, faktor pasar selalu berlaku. Jika suatu entitas bisnis dipandang dapat menjadi mitra yang menguntungkan dan dapat dipercaya, selalu ada tempat dalam rantai produksi yang ada. Meskipun, memang selangkah demi selangkah sudah ada gerakan global-artinya, tidak spesifik oleh kelompok kepentingan tertentu-untuk mencapai suatu standar etika bisnis tertentu karena tantangan tentang kemiskinan, lingkungan, ataupun ketidak adilan dipersepsikan secara global.
 
Bagi organisasi yang sehat, akan ada peningkatan kapasitas untuk selangkah demi selangkah memenuhi lebih banyak prinsip-prinsip.
ISO 26000 harus dipandang berbagai organisasi sebagai kerangka yang memberi arahan untuk menjadi semakin sehat dan akuntabel sebagai suatu organisasi. Bagi Indonesia hal ini sangat penting. Pemikiran dan praktik tentang organisasi sehat terlupakan oleh riuh rendah politik.
Dengan mudah kita melihat bahwa banyak organisasi yang sangat sibuk dalam pengembangan wacana dan tawar menawar “siapa dapat apa”. Basis kemajuan peradaban yang penting sesungguhnya adalah ada pada bagaimana suatu bangsa mengelola sumber daya dan kapasitas sosial. Melalui ISO 26000 adalah upaya menyosialisasikan pemahaman tentang tanggung jawab sosial dan mendorong upaya perbaikan kesejahteraan berdasarkan prinsip solidaritas sosial.

Oleh Meuthia Ganie-RochmanSosiolog & anggota Mirror Committee ISO 26000



­