Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

SNI Wajib Kakao Bubuk Diberlakukan

  • Kamis, 28 Mei 2009
  • 4867 kali

Kliping Berita :

Pengusaha pengolah kakao sumringah. Departemen Perindustrian (Depperin) akhirnya memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib kakao bubuk. Kebijakan ini merupakan respon atas maraknya peredaran kakao bubuk palsu dan impor. Kebijakan SNI wajib kakao bubuk tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 45/M-ID/PE/5/2009, dan mulai berlaku pada November 2009. Aturan ini, “Dalam rangka peningkatan mutu kakao bubuk, menciptakan persaingan usaha yang sehat dan memberikan perlindungan konsumen,” kata Menperin Fahmi Idris dalam suratnya, Selasa (26/5).

Setelah aturan ini berlaku, produsen dan importir kakao bubuk harus memiliki Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT SNI) pada produk yang mereka edarkan. Depperin akan menguji kesesuaian mutu produk per tiga bulan. Sementara kakao bubuk impor harus memiliki dokumen Certificate of Analysis (CoA). Dokumen itu sekurang kurangnya mencantumkan nama dan alamat perusahaan, nama laboratorium penguji, tanggal, dan hasil pengujian yang telah memenuhi parameter SNI.

Kebijakan ini juga mengatur soal sanksi. Misal, jika kakao bubuk impor tidak memenuhi ketentuan, maka produk tersebut harus diekspor kembali atau dimusnahkan. Pengusaha senang dengan aturan ini. Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Aluisius Wayandanu mengatakan, SNI wajib akan kembali meningkatkan utilisasi pabrik dan penjualan. Kepastian pemberlakuan SNI wajib ini juga telah mengerek harga kakao bubuk lokal dari Rp 20.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 28.000 per kg.

“Kami senang SNI wajib sudah berlaku. Padahal, kami baru mengajukannya tiga bulan lalu,” katanya.


Sejak kakao bubuk palsu dan impor tak berstandar marak di pasar lokal, utilisasi pabrik turun jadi 50%. Produksi hanya 35.000 ton per tahun dari kapasitas 70.000 ton.

Setiap tahun, papar Aluisius, volume peredaran kakao bubuk palsu terus melonjak. Hingga 2008 lalu, jumlahnya sudah mencapai 6.000 ton. Konon bahan baku bubuk kakao palsu itu adalah kulit kakao yang tidak memenuhi standar produk jadi.

Adapun peredaran kakao bubuk impor yang tak memenuhi standar pada 2008 lalu mencapai 8.000 ton. "Kebanyakan berasal dari Malaysia dan Singapura," kata Aluisius. (Nurmayanti)



Sumber : Kontan Online
Rabu, 27 Mei 2009